12 Januari 2008

Perjuangan Di Tanah Bebatuan dan Kebahagiaan Di Awal Penghujan

Kuliah Agama Katolik memberikan tugas kepada kami untuk mengadakan live-in dalam rangka materi analisa sosial. Adapun tujuan live-in tersebut adalah mengenal kehidupan kelompok-kelompok masyarakat tertentu melalui keterlibatan langsung untuk kemudian mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan. Dengan basic kehidupan kota yang glamor, kami berusaha melihat lebih dalam kehidupan masyarakat di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

Live-in ini dilakukan secara berkelompok. Kebetulan kelompok saya berjumlah 8 orang Apres, Bisana, Maestro, Tia, Denay, Dini, Lusi, dan saya sendiri. Ketika Frater Natalis menginformasikan seputar penyelenggaraan live-in, bayangan desa-desa di pedalaman Gunungkidul langsung melintas di benak saya. Tidak banyak yang tahu kehidupan masyarakat di sana. Ketika orang berjalan-jalan ke Pantai Krakal, Kukup, Baron atau Pantai Ngrenehan dan Ngobaran, mereka pasti akan melihat pemandangan berupa bukit gersang yang berkapur. Namun, ada berapa orang yang terpercik di pikirannya untuk melihat kehidupan masyarakat di sepanjang jalan menuju pantai? Inilah yang ingin saya angkat. Saya ingin memperkenalkan dunia yang amat sangat berbeda dari kehidupan kota yang glamor dan penuh dengan fasilitas. Di Gunungkidul, terutama di tempat kami live-in, jangankan berpikir untuk membeli peralatan teknologi dan berbagai macam fasilitas, bisa bertahan hidup dengan minimnya air yang ada saja bisa dibilang sudah sangat beruntung.

Frater Natalis memberikan rentang waktu penyelenggaraan live-in mulai tanggal 28 November 2007 sampai tanggal 16 Desember 2007. Setelah menyesuaikan dengan jadwal kuliah kami masing-masing, akhirnya kami sepakat mengadakan live-in pada tanggal 7-9 Desember 2007. Untuk rumah yang akan ditempati kami selama live-in, saya meminta bantuan bekas pembantu saya, Parjiyem. Mbak Parjiyem berasal dari sebuah dukuh di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul. Di sana, Mbak Par (begitu panggilannya) tinggal bersama Ibu, suami, dan dua anaknya. Sedangkan Bapaknya bekerja di daerah Babarsari sebagai pemulung. Hal tersebut dilakukan karena hasil mengumpulkan barang bekas lebih pasti dan lebih menggiurkan daripada menggantungkan hidup pada tanah pegunungan kapur yang tandus dan kering karena kesulitan air. Ketika bertani, mereka hanya menggantungkan urusan perut pada tanaman yang mereka tanam, itu pun belum tentu setiap hari singkong atau jagung di ladangnya bisa diambil untuk dimakan. Akan tetapi dengan menjadi pemulung, Bapak rata-rata mendapat Rp25.000,00 per hari. Sebulan sekali Bapak pulang membawa hasil dari mengumpulkan barang bekas. Asap dapur pun bisa terus dipertahankan agar mengepul tiap hari. Untuk tambah-tambah, suami Mbak Par, Mas Wiyono, berjualan siomay keliling menggunakan motornya tiap hari. Mbak Par pun berjualan nasi bungkus seharga Rp500,00 per bungkus di depan SD Inpres di dekat rumahnya. Sementara Ibu hanya bekerja mencari makanan untuk sapi dan kambingnya. Bagi orang desa, sapi dan kambing adalah tabungan yang amat berarti bagi mereka. Mbak Par adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya wanita. Namun, kedua saudaranya telah menikah dan memiliki rumah sendiri, masing-masing di daerah Semanu dan Ngawen.

Jumat, 7 Desember 2007. Rombongan kami berangkat menuju ke lokasi live-in di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul menggunakan sepeda motor. Pukul 15.00 WIB, kami berkumpul di Plasa FISIPOL lalu berangkat menuju Gunungkidul yang identik dengan pegunungan kapur yang kering. Perjalanan kami lancar-lancar saja walaupun sempat terhenti sejenak di Ring Road Janti karena ada pemeriksaan kelengkapan berkendara. Kami memacu motor kami agak cepat tapi santai. Matahari masih terasa membakar kulit meskipun hari sudah beranjak sore. Kami lalu melewati jalanan Gunungkidul yang berliku-liku dan padat oleh kendaraan-kendaraan berat seperti truk dan bus. Ketika sampai di daerah Hargodumilah, Patuk, kami bisa melihat pemandangan Yogyakarta dari atas bukit. Teman-teman yang lain terkesima melihat pemandangan itu.

Kira-kira pukul 16.00 WIB kami sampai di rumah paman saya di Kecamatan Playen, yang menjadi tempat tinggal saya saat ini. Kami sengaja beristirahat sejenak karena saya tahu teman-teman, terutama gadis-gadis kami pasti lelah. Kami duduk-duduk sambil melepas dahaga dan memberi kesempatan bagi teman-teman yang ingin buang air kecil. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan kami. Perjalanan kami selanjutnya melewati hutan kayu putih, Kompleks Latih Tempur TNI di Paliyan, serta bukit-bukit batu kapur di sepanjang jalan yang kami lalui. Tanah-tanah pertanian di sepanjang jalan tampak kering karena hujan memang belum mengguyur daerah ini. Kami juga melewati telaga, semacam danau buatan untuk menampung air hujan agar masyarakat tidak kesulitan air. Tapi tetap saja, di musim kemarau telaga selalu kering. Telaga biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari (memasak dan minum), mencuci pakaian, mandi, hingga memandikan kerbau atau sapi. Untuk mencapai rumah Mbak Par, kami harus keluar dari jalan beraspal dan melewati jalan berbatu sejauh hampir 3 km. Jarak rumah saya hingga ke rumah Mbak Par hanya separo jarak rumah saya menuju Yogyakarta, tetapi sama-sama memakan waktu 1 jam karena medannya sangat berat dan berbatu. Kami harus berjalan ekstra hati-hati agar shock motor-motor kami tidak rusak karena kondisi jalan yang berbatu. Berbeda dengan pemukiman di kota yang jalanannya sudah dipaving atau bahkan diaspal, jalanan di sana masih berupa jalanan berbatu dan naik turun bukit.

Akhirnya, pada pukul 17.00 WIB kami sampai di rumah Mbak Par. Keluarga Mbak Par menyambut kami dengan hangat. Ini adalah ciri khas orang desa yang selalu menghormati orang yang berkunjung dan memperlakukannya seperti raja. Meskipun mungkin mereka kekurangan, tapi mereka selalu beerusaha memberikan sajian dan jamuan yang terbaik bagi tamu mereka. Teman-teman saya sedikit beruntung karena sekarang daerah tempat tinggal Mbak Par sudah dialiri listrik. Listrik memang belum lama masuk daerah tersebut. Rumahnya sangat sederhana, seperti kebanyakan rumah pedesaan pada umumnya. Berbentuk joglo, berdinding kayu dan anyaman bambu, lantai yang masih berupa tanah, dan dipan lebar yang biasa dipakai bersantai oleh anggota keluarga. Salah satu bagian rumah yang terletak di belakang rumah sedikit menarik perhatian kami. Sebuah bak air berukuran 3x5x2 meter yang ditutup genteng seolah-olah masih bagian rumah. Uniknya, talang-talang air di atap rumah semua diarahkan menuju ke dalam bak itu. Rupanya, bak tersebut adalah tempat penampungan air yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan. Air tersebut dipakai untuk keperluan sehari-hari, mencuci, dan mandi. Di samping bak terdapat space yang cukup lebar tetapi agak terbuka yang rupanya tempat mandi keluarga tersebut. Ketika musim kemarau dan suplai air mereka habis, mereka harus mengantri panjang untuk membeli air. Bayangkan, di kota, kita begitu enaknya membuang-buang air, sementara mereka harus benar-benar menghargai air karena untuk mendapatkan air saja butuh perjuangan yang amat sangat berat.

Badan lelah kami disambut hangatnya teh dan sepiring pisang goreng. Sederhana memang, teman-teman saya pun berkomentar bahwa airnya sedikit berasa kapur dan pisang gorengnya pun agak hambar karena memang tidak diberi adonan tepung seperti pisang goreng di kota. Inilah kehidupan desa, mereka menikmati segalanya dengan sederhana. Tidak hanya berpikir mencari makanan enak. Kalau bisa makan seperti itu saja sudah bagus kenapa harus menggerutu meminta makanan yang aneh-aneh. Satu lagi ciri khas orang desa, tidak banyak menuntut. Mereka sangat mensyukuri apa yang mereka miliki, tidak seperti orang kota yang selalu ingin memiliki produk teknologi atau apapun yang terbaru, tidak peduli butuh atau tidak. Ketika hari mulai beranjak gelap, hujan turun cukup deras. Inilah hujan pertama di Gunungkidul. Walau hanya sebentar tetapi cukuplah untuk melegakan hati seluruh warga desa karena hujan telah menambah isi penampungan air mereka. Malam itu kami tidur berselimut dinginnya udara yang terbawa oleh hujan tadi.

Sabtu, 8 Desember 2007. Pagi harinya, kami disajikan menu telor dadar, sayur daun ketela, tahu dan tempe bacem, serta nasi putih yang masih hangat. Kami makan dengan sangat lahap. Setelah makan kami pergi bersama Ibu mencari pakan untuk memberi makan satu ekor sapi dan dua ekor kambing yang menjadi tabungan mereka. Kami mencari pakan ternak berupa daun ketela pohon, sisa tanaman jagung, dan dedaunan lainnya di lembah di bawah bukit di sebelah rumah Mbak Par. Cukup melelahkan, bahkan beberapa dari kami pun harus jatuh bangun baik ketika menuruni bukit berbatu maupun ketika menaikinya lagi ketika hendak kembali ke rumah. Perjuangan mereka untuk merawat peliharaan mereka pun sampai begitu berat, tetapi mereka tidak merasakan itu sebagai suatu beban melainkan sebuah tanggung jawab untuk merawat ternaknya. Di kota, jarang sekali kita melihat rasa tanggung jawab yang begitu besar dari seseorang terhadap peliharaannya. Memberi makan anjing pun kadang kita seenaknya. Orang-orang kaya malah menyuruh pembantunya untuk membelikan makanan anjing atau kucing di toko untuk hewan yang mereka sebut-sebut hewan kesayangan mereka.

Kami baru selesai mencari pakan untuk ternak ketika matahari telah berada diatas kepala kami. Sesampainya di rumah kami sudah disambut dengan hidangan makan siang. Menu kali ini sayur tempe, daun ketela tadi pagi, dan mi goreng. Kami makan dengan amat lahap, Maestro bahkan menyempatkan diri untuk mengisi ulang piringnya yang telah kosong. Seusai makan siang, kami bermain-main I bukit sebelah rumah sambil menikmati pemandangan indah berupa bukit-bukit berbatu yang terhampar luas. Menjelang sore, kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke Pantai Ngrenehan sambil melihat kehidupan masyarakat di bagian lain Gunungkidul. Hampir sama sebenarnya, tetapi semakin dekat dengan pantai, kami mulai menjumpai tanaman padi. Padi hanya bisa hidup di daerah pantai yang relatif rendah, itupun hanya padi gogo yang berkualitas rendah.

Pantai Ngrenehan tidak begitu besar, tetapi bentuk pantainya yang diapit dua tebing karang besar membuat pantai ini tampak sangat indah. Di sana tampak perahu-perahu nelayan yang terparkir rapi di bagian pantai yang agak tinggi. Beberapa wanita di tempat pelelangan ikan menawarkan ikan tongkol yang baru saja didapat nelayan dari melaut. Biasanya orang-orang membeli ikan di TPI tersebut lalu dimasak sesuai keinginan (dibakar atau digoreng) di warung-warung yang ada di sekitar pantai. Kita hanya perlu membayar Rp5.000,00 untuk ongkos mengolah ikan yang kita beli. Baru sejenak kami bermain-main dengan ombak yang bergulung kecil, tiba-tiba hujan kembali mengguyur Gunungkidul. Kami pun berlarian berteduh di salah satu warung yang ada. Karena ikan di TPI sudah habis diborong rombongan wisatawan, kami hanya menikmati mi telor dan teh hangat sembari menunggu hujan reda. Setelah hujan sedikit mereda, kami bergegas kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, kami bergiliran mandi. Badan kami terasa lengket oleh air laut ditambah lagi keringat kami setelah seharian beraktivitas. Karena kamar mandinya hampir tak bersekat, maka kami bergantian berjaga agar tidak ada orang yang lewat pada waktu kami mandi. Malam hari, kami menikmati makan malam sambil berbincang-bincang dengan keluarga Mbak Par. Kemudian saya terlelap karena kelelahan, sementara teman-teman lain masih asik menonton Idol di televisi.

Minggu, 9 Desember 2007. Pagi hari, kami bangun pagi lalu bersantai bersama keluarga sambil menonton televisi. Kemudian saya dan Dini ikut Mbak Par pergi ke pasar yang berjarak 3 km dari rumah dan harus melewati jalanan berbatu seperti biasa. Semula Maestro, Denay dan Apres juga berniat ikut, tapi karena motor Maestro macet oleh tanah liat yang masuk ke sela-sela ban depan motornya, mereka batal ikut dan kembali ke rumah lagi. Sepanjang jalan kami berdua menyaksikan pemandangan menarik. Beberapa warga memang ke pasar menggunakan sepeda motor, tetapi mereka yang tidak punya atau tidak bisa naik sepeda motor seperti orang-orang yang sudah tua pergi ke pasar yang berjarak 3 km itu dengan berjalan kaki. Tak hanya itu, beberapa nenek-nenek berjalan sambil memikul tanaman jagung yang akan dijual di pasar sebagai pakan ternak. Mereka mampu berjuang sedemikian keras untuk bertahan hidup. Selain itu kami melihat pula perbedaan remaja di kota dan di desa. Remaja kota ketika hari Minggu banyak menghabiskan waktunya di mal, remaja desa menghabiskan week end mereka di pasar. Umumnya mereka melakukan aktivitas yang sama dengan remaja kota. Berjalan-jalan dengan teman, dengan pacar, atau hanya sekedar nongkrong di pasar. Perbedaannya terletak pada konsumtivisme mereka. Remaja di desa sudah puas hanya dengan berkumpul di pasar bersama teman-teman. Sementara remaja di kota seakan-akan berusaha “menghabiskan” isi mal.

Menjelang siang, sekitar pukul 09.00 WIB, kami kembali tiba di rumah Mbak Par. Sebenarnya kami berniat untuk bergegas pulang, tapi kami merasa tidak enak karena Ibu tengah mengolah makanan untuk makan siang sehingga kami mencoba menghargai kerja keras mereka yang ingin memberikan yang terbaik untuk kami. Sembari menunggu makan siang, kami bermain-main dengan sapi sambil mengobrol, sementara Maestro dibantu Mas Wiyono sibuk membersihkan ban motornya yang penuh dengan tanah liat. Karena tiba-tiba merasa pusing, saya segera membaringkan diri di dipan besar yang kami pakai untuk tidur bersama. Saya bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB dan makan siang telah siap. Memang, karena proses mengolah makanan menggunakan tungku maka waktu yang diperlukan untuk memasak pun cukup lama. Kami kemudian menyantap makan siang dan bergegas menata bawaan kami. Langit diluar sangat gelap dan kami takut jika kami terjebak hujan lagi. Setelah semua siap, kami pun berpamitan kepada seluruh anggota keluarga. Kami kembali melewati jalanan berbatu, kemudian bergegas memacu motor kami di jalan beraspal hingga ke kampus FISIPOL. Setelah selesai berdoa, kami pun kembali ke rumah masing-masing, dan saya harus kembali lagi ke Gunungkidul, karena rumah saya memang di Gunungkidul.

Selama live-in kami berusaha mencari informasi dan mengkaitkan informasi yang kami dapat dengan kehidupan yang biasa kami rasakan di kota. Keterkaitan ini kemudian kami bandingkan untuk memperoleh gambaran umum kita sebagai manusia. Bagaimanapun beban yang kita rasakan di kota, namun kita jauh lebih beruntung dari mereka yang hidup di pelosok desa yang minim fasilitas. Yang membuat beban kita terasa semakin berat adalah semua keluh kesah kita. Setiap kita mengeluh, maka beban kita akan terasa semakin berat, padahal Tuhan tidak pernah memberi ujian yang tidak mampu dihadapi oleh umat-Nya. Tuhan selalu memperhitungkan kemampuan kita. Lalu mengapa masyarakat Gunungkidul tetap bisa survive dengan segala keterbatasan yang mereka miliki? Itu karena mereka senantiasa melakukan setiap pekerjaan dengan senang hati. Mencari rumput di tanah berbukit terjal dilakukan dengan senang hati, berjalan ke pasar yang berjarak 3 km dengan senang hati, bahkan merantau ke kota untuk mendapat penghidupan yang lebih layak, walaupun hanya menjadi pemulung, juga dengan senang hati. Semua itu didasari keyakinan bahwa Tuhan akan melihat kerja keras mereka serta tekad untuk terus menafkahi keluarga. Rasanya, semangat inilah yang perlu dibangun oleh masyarakat kota, termasuk saya. Semoga pengalaman live-in yang sangat berharga ini bisa membuat kami terus ingat pada nasib orang-orang desa yang kurang beruntung, bahkan ketika kami sanggup menduduki kursi pemerintahan kelak.

Gunungkidul, 30 Desember 2007
terima kasih para pejuang di pegunungan gersang, atas

sebuah tekad untuk tetap bertahan di tengah derasnya arus zaman…

06 Januari 2008

Pertama di 2008

Hi!!!

Akhirnya kita tiba di 2008...
Tahun yang baru akan memberikan semangat baru, keceriaan baru, harapan baru, perjuangan baru, pokoknya semua serba baru...

Tapi ada satu pertanyaan...
Perlukah di tahun baru pemerintah menetapkan harga BBM baru???
Klo harga BBM naek, gimana donk nasib para perantau yang mengadu nasib bersekolah di luar kota seperti saya???

Pak Pres, klo mau naikin BBM, naikin aja buat yang naiknya Mercedes, Volvo, Jaguar, BMW, dkk. donk...
Jangan naikin BBM buat kami yang cuma naik motor...Gimana kami bisa nabung buat ganti mobil klo beli bensin buat motor aja ga bisa...