12 Januari 2008

Perjuangan Di Tanah Bebatuan dan Kebahagiaan Di Awal Penghujan

Kuliah Agama Katolik memberikan tugas kepada kami untuk mengadakan live-in dalam rangka materi analisa sosial. Adapun tujuan live-in tersebut adalah mengenal kehidupan kelompok-kelompok masyarakat tertentu melalui keterlibatan langsung untuk kemudian mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan. Dengan basic kehidupan kota yang glamor, kami berusaha melihat lebih dalam kehidupan masyarakat di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.

Live-in ini dilakukan secara berkelompok. Kebetulan kelompok saya berjumlah 8 orang Apres, Bisana, Maestro, Tia, Denay, Dini, Lusi, dan saya sendiri. Ketika Frater Natalis menginformasikan seputar penyelenggaraan live-in, bayangan desa-desa di pedalaman Gunungkidul langsung melintas di benak saya. Tidak banyak yang tahu kehidupan masyarakat di sana. Ketika orang berjalan-jalan ke Pantai Krakal, Kukup, Baron atau Pantai Ngrenehan dan Ngobaran, mereka pasti akan melihat pemandangan berupa bukit gersang yang berkapur. Namun, ada berapa orang yang terpercik di pikirannya untuk melihat kehidupan masyarakat di sepanjang jalan menuju pantai? Inilah yang ingin saya angkat. Saya ingin memperkenalkan dunia yang amat sangat berbeda dari kehidupan kota yang glamor dan penuh dengan fasilitas. Di Gunungkidul, terutama di tempat kami live-in, jangankan berpikir untuk membeli peralatan teknologi dan berbagai macam fasilitas, bisa bertahan hidup dengan minimnya air yang ada saja bisa dibilang sudah sangat beruntung.

Frater Natalis memberikan rentang waktu penyelenggaraan live-in mulai tanggal 28 November 2007 sampai tanggal 16 Desember 2007. Setelah menyesuaikan dengan jadwal kuliah kami masing-masing, akhirnya kami sepakat mengadakan live-in pada tanggal 7-9 Desember 2007. Untuk rumah yang akan ditempati kami selama live-in, saya meminta bantuan bekas pembantu saya, Parjiyem. Mbak Parjiyem berasal dari sebuah dukuh di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul. Di sana, Mbak Par (begitu panggilannya) tinggal bersama Ibu, suami, dan dua anaknya. Sedangkan Bapaknya bekerja di daerah Babarsari sebagai pemulung. Hal tersebut dilakukan karena hasil mengumpulkan barang bekas lebih pasti dan lebih menggiurkan daripada menggantungkan hidup pada tanah pegunungan kapur yang tandus dan kering karena kesulitan air. Ketika bertani, mereka hanya menggantungkan urusan perut pada tanaman yang mereka tanam, itu pun belum tentu setiap hari singkong atau jagung di ladangnya bisa diambil untuk dimakan. Akan tetapi dengan menjadi pemulung, Bapak rata-rata mendapat Rp25.000,00 per hari. Sebulan sekali Bapak pulang membawa hasil dari mengumpulkan barang bekas. Asap dapur pun bisa terus dipertahankan agar mengepul tiap hari. Untuk tambah-tambah, suami Mbak Par, Mas Wiyono, berjualan siomay keliling menggunakan motornya tiap hari. Mbak Par pun berjualan nasi bungkus seharga Rp500,00 per bungkus di depan SD Inpres di dekat rumahnya. Sementara Ibu hanya bekerja mencari makanan untuk sapi dan kambingnya. Bagi orang desa, sapi dan kambing adalah tabungan yang amat berarti bagi mereka. Mbak Par adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya wanita. Namun, kedua saudaranya telah menikah dan memiliki rumah sendiri, masing-masing di daerah Semanu dan Ngawen.

Jumat, 7 Desember 2007. Rombongan kami berangkat menuju ke lokasi live-in di Desa Trowono, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul menggunakan sepeda motor. Pukul 15.00 WIB, kami berkumpul di Plasa FISIPOL lalu berangkat menuju Gunungkidul yang identik dengan pegunungan kapur yang kering. Perjalanan kami lancar-lancar saja walaupun sempat terhenti sejenak di Ring Road Janti karena ada pemeriksaan kelengkapan berkendara. Kami memacu motor kami agak cepat tapi santai. Matahari masih terasa membakar kulit meskipun hari sudah beranjak sore. Kami lalu melewati jalanan Gunungkidul yang berliku-liku dan padat oleh kendaraan-kendaraan berat seperti truk dan bus. Ketika sampai di daerah Hargodumilah, Patuk, kami bisa melihat pemandangan Yogyakarta dari atas bukit. Teman-teman yang lain terkesima melihat pemandangan itu.

Kira-kira pukul 16.00 WIB kami sampai di rumah paman saya di Kecamatan Playen, yang menjadi tempat tinggal saya saat ini. Kami sengaja beristirahat sejenak karena saya tahu teman-teman, terutama gadis-gadis kami pasti lelah. Kami duduk-duduk sambil melepas dahaga dan memberi kesempatan bagi teman-teman yang ingin buang air kecil. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan kami. Perjalanan kami selanjutnya melewati hutan kayu putih, Kompleks Latih Tempur TNI di Paliyan, serta bukit-bukit batu kapur di sepanjang jalan yang kami lalui. Tanah-tanah pertanian di sepanjang jalan tampak kering karena hujan memang belum mengguyur daerah ini. Kami juga melewati telaga, semacam danau buatan untuk menampung air hujan agar masyarakat tidak kesulitan air. Tapi tetap saja, di musim kemarau telaga selalu kering. Telaga biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari (memasak dan minum), mencuci pakaian, mandi, hingga memandikan kerbau atau sapi. Untuk mencapai rumah Mbak Par, kami harus keluar dari jalan beraspal dan melewati jalan berbatu sejauh hampir 3 km. Jarak rumah saya hingga ke rumah Mbak Par hanya separo jarak rumah saya menuju Yogyakarta, tetapi sama-sama memakan waktu 1 jam karena medannya sangat berat dan berbatu. Kami harus berjalan ekstra hati-hati agar shock motor-motor kami tidak rusak karena kondisi jalan yang berbatu. Berbeda dengan pemukiman di kota yang jalanannya sudah dipaving atau bahkan diaspal, jalanan di sana masih berupa jalanan berbatu dan naik turun bukit.

Akhirnya, pada pukul 17.00 WIB kami sampai di rumah Mbak Par. Keluarga Mbak Par menyambut kami dengan hangat. Ini adalah ciri khas orang desa yang selalu menghormati orang yang berkunjung dan memperlakukannya seperti raja. Meskipun mungkin mereka kekurangan, tapi mereka selalu beerusaha memberikan sajian dan jamuan yang terbaik bagi tamu mereka. Teman-teman saya sedikit beruntung karena sekarang daerah tempat tinggal Mbak Par sudah dialiri listrik. Listrik memang belum lama masuk daerah tersebut. Rumahnya sangat sederhana, seperti kebanyakan rumah pedesaan pada umumnya. Berbentuk joglo, berdinding kayu dan anyaman bambu, lantai yang masih berupa tanah, dan dipan lebar yang biasa dipakai bersantai oleh anggota keluarga. Salah satu bagian rumah yang terletak di belakang rumah sedikit menarik perhatian kami. Sebuah bak air berukuran 3x5x2 meter yang ditutup genteng seolah-olah masih bagian rumah. Uniknya, talang-talang air di atap rumah semua diarahkan menuju ke dalam bak itu. Rupanya, bak tersebut adalah tempat penampungan air yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan. Air tersebut dipakai untuk keperluan sehari-hari, mencuci, dan mandi. Di samping bak terdapat space yang cukup lebar tetapi agak terbuka yang rupanya tempat mandi keluarga tersebut. Ketika musim kemarau dan suplai air mereka habis, mereka harus mengantri panjang untuk membeli air. Bayangkan, di kota, kita begitu enaknya membuang-buang air, sementara mereka harus benar-benar menghargai air karena untuk mendapatkan air saja butuh perjuangan yang amat sangat berat.

Badan lelah kami disambut hangatnya teh dan sepiring pisang goreng. Sederhana memang, teman-teman saya pun berkomentar bahwa airnya sedikit berasa kapur dan pisang gorengnya pun agak hambar karena memang tidak diberi adonan tepung seperti pisang goreng di kota. Inilah kehidupan desa, mereka menikmati segalanya dengan sederhana. Tidak hanya berpikir mencari makanan enak. Kalau bisa makan seperti itu saja sudah bagus kenapa harus menggerutu meminta makanan yang aneh-aneh. Satu lagi ciri khas orang desa, tidak banyak menuntut. Mereka sangat mensyukuri apa yang mereka miliki, tidak seperti orang kota yang selalu ingin memiliki produk teknologi atau apapun yang terbaru, tidak peduli butuh atau tidak. Ketika hari mulai beranjak gelap, hujan turun cukup deras. Inilah hujan pertama di Gunungkidul. Walau hanya sebentar tetapi cukuplah untuk melegakan hati seluruh warga desa karena hujan telah menambah isi penampungan air mereka. Malam itu kami tidur berselimut dinginnya udara yang terbawa oleh hujan tadi.

Sabtu, 8 Desember 2007. Pagi harinya, kami disajikan menu telor dadar, sayur daun ketela, tahu dan tempe bacem, serta nasi putih yang masih hangat. Kami makan dengan sangat lahap. Setelah makan kami pergi bersama Ibu mencari pakan untuk memberi makan satu ekor sapi dan dua ekor kambing yang menjadi tabungan mereka. Kami mencari pakan ternak berupa daun ketela pohon, sisa tanaman jagung, dan dedaunan lainnya di lembah di bawah bukit di sebelah rumah Mbak Par. Cukup melelahkan, bahkan beberapa dari kami pun harus jatuh bangun baik ketika menuruni bukit berbatu maupun ketika menaikinya lagi ketika hendak kembali ke rumah. Perjuangan mereka untuk merawat peliharaan mereka pun sampai begitu berat, tetapi mereka tidak merasakan itu sebagai suatu beban melainkan sebuah tanggung jawab untuk merawat ternaknya. Di kota, jarang sekali kita melihat rasa tanggung jawab yang begitu besar dari seseorang terhadap peliharaannya. Memberi makan anjing pun kadang kita seenaknya. Orang-orang kaya malah menyuruh pembantunya untuk membelikan makanan anjing atau kucing di toko untuk hewan yang mereka sebut-sebut hewan kesayangan mereka.

Kami baru selesai mencari pakan untuk ternak ketika matahari telah berada diatas kepala kami. Sesampainya di rumah kami sudah disambut dengan hidangan makan siang. Menu kali ini sayur tempe, daun ketela tadi pagi, dan mi goreng. Kami makan dengan amat lahap, Maestro bahkan menyempatkan diri untuk mengisi ulang piringnya yang telah kosong. Seusai makan siang, kami bermain-main I bukit sebelah rumah sambil menikmati pemandangan indah berupa bukit-bukit berbatu yang terhampar luas. Menjelang sore, kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke Pantai Ngrenehan sambil melihat kehidupan masyarakat di bagian lain Gunungkidul. Hampir sama sebenarnya, tetapi semakin dekat dengan pantai, kami mulai menjumpai tanaman padi. Padi hanya bisa hidup di daerah pantai yang relatif rendah, itupun hanya padi gogo yang berkualitas rendah.

Pantai Ngrenehan tidak begitu besar, tetapi bentuk pantainya yang diapit dua tebing karang besar membuat pantai ini tampak sangat indah. Di sana tampak perahu-perahu nelayan yang terparkir rapi di bagian pantai yang agak tinggi. Beberapa wanita di tempat pelelangan ikan menawarkan ikan tongkol yang baru saja didapat nelayan dari melaut. Biasanya orang-orang membeli ikan di TPI tersebut lalu dimasak sesuai keinginan (dibakar atau digoreng) di warung-warung yang ada di sekitar pantai. Kita hanya perlu membayar Rp5.000,00 untuk ongkos mengolah ikan yang kita beli. Baru sejenak kami bermain-main dengan ombak yang bergulung kecil, tiba-tiba hujan kembali mengguyur Gunungkidul. Kami pun berlarian berteduh di salah satu warung yang ada. Karena ikan di TPI sudah habis diborong rombongan wisatawan, kami hanya menikmati mi telor dan teh hangat sembari menunggu hujan reda. Setelah hujan sedikit mereda, kami bergegas kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, kami bergiliran mandi. Badan kami terasa lengket oleh air laut ditambah lagi keringat kami setelah seharian beraktivitas. Karena kamar mandinya hampir tak bersekat, maka kami bergantian berjaga agar tidak ada orang yang lewat pada waktu kami mandi. Malam hari, kami menikmati makan malam sambil berbincang-bincang dengan keluarga Mbak Par. Kemudian saya terlelap karena kelelahan, sementara teman-teman lain masih asik menonton Idol di televisi.

Minggu, 9 Desember 2007. Pagi hari, kami bangun pagi lalu bersantai bersama keluarga sambil menonton televisi. Kemudian saya dan Dini ikut Mbak Par pergi ke pasar yang berjarak 3 km dari rumah dan harus melewati jalanan berbatu seperti biasa. Semula Maestro, Denay dan Apres juga berniat ikut, tapi karena motor Maestro macet oleh tanah liat yang masuk ke sela-sela ban depan motornya, mereka batal ikut dan kembali ke rumah lagi. Sepanjang jalan kami berdua menyaksikan pemandangan menarik. Beberapa warga memang ke pasar menggunakan sepeda motor, tetapi mereka yang tidak punya atau tidak bisa naik sepeda motor seperti orang-orang yang sudah tua pergi ke pasar yang berjarak 3 km itu dengan berjalan kaki. Tak hanya itu, beberapa nenek-nenek berjalan sambil memikul tanaman jagung yang akan dijual di pasar sebagai pakan ternak. Mereka mampu berjuang sedemikian keras untuk bertahan hidup. Selain itu kami melihat pula perbedaan remaja di kota dan di desa. Remaja kota ketika hari Minggu banyak menghabiskan waktunya di mal, remaja desa menghabiskan week end mereka di pasar. Umumnya mereka melakukan aktivitas yang sama dengan remaja kota. Berjalan-jalan dengan teman, dengan pacar, atau hanya sekedar nongkrong di pasar. Perbedaannya terletak pada konsumtivisme mereka. Remaja di desa sudah puas hanya dengan berkumpul di pasar bersama teman-teman. Sementara remaja di kota seakan-akan berusaha “menghabiskan” isi mal.

Menjelang siang, sekitar pukul 09.00 WIB, kami kembali tiba di rumah Mbak Par. Sebenarnya kami berniat untuk bergegas pulang, tapi kami merasa tidak enak karena Ibu tengah mengolah makanan untuk makan siang sehingga kami mencoba menghargai kerja keras mereka yang ingin memberikan yang terbaik untuk kami. Sembari menunggu makan siang, kami bermain-main dengan sapi sambil mengobrol, sementara Maestro dibantu Mas Wiyono sibuk membersihkan ban motornya yang penuh dengan tanah liat. Karena tiba-tiba merasa pusing, saya segera membaringkan diri di dipan besar yang kami pakai untuk tidur bersama. Saya bangun ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB dan makan siang telah siap. Memang, karena proses mengolah makanan menggunakan tungku maka waktu yang diperlukan untuk memasak pun cukup lama. Kami kemudian menyantap makan siang dan bergegas menata bawaan kami. Langit diluar sangat gelap dan kami takut jika kami terjebak hujan lagi. Setelah semua siap, kami pun berpamitan kepada seluruh anggota keluarga. Kami kembali melewati jalanan berbatu, kemudian bergegas memacu motor kami di jalan beraspal hingga ke kampus FISIPOL. Setelah selesai berdoa, kami pun kembali ke rumah masing-masing, dan saya harus kembali lagi ke Gunungkidul, karena rumah saya memang di Gunungkidul.

Selama live-in kami berusaha mencari informasi dan mengkaitkan informasi yang kami dapat dengan kehidupan yang biasa kami rasakan di kota. Keterkaitan ini kemudian kami bandingkan untuk memperoleh gambaran umum kita sebagai manusia. Bagaimanapun beban yang kita rasakan di kota, namun kita jauh lebih beruntung dari mereka yang hidup di pelosok desa yang minim fasilitas. Yang membuat beban kita terasa semakin berat adalah semua keluh kesah kita. Setiap kita mengeluh, maka beban kita akan terasa semakin berat, padahal Tuhan tidak pernah memberi ujian yang tidak mampu dihadapi oleh umat-Nya. Tuhan selalu memperhitungkan kemampuan kita. Lalu mengapa masyarakat Gunungkidul tetap bisa survive dengan segala keterbatasan yang mereka miliki? Itu karena mereka senantiasa melakukan setiap pekerjaan dengan senang hati. Mencari rumput di tanah berbukit terjal dilakukan dengan senang hati, berjalan ke pasar yang berjarak 3 km dengan senang hati, bahkan merantau ke kota untuk mendapat penghidupan yang lebih layak, walaupun hanya menjadi pemulung, juga dengan senang hati. Semua itu didasari keyakinan bahwa Tuhan akan melihat kerja keras mereka serta tekad untuk terus menafkahi keluarga. Rasanya, semangat inilah yang perlu dibangun oleh masyarakat kota, termasuk saya. Semoga pengalaman live-in yang sangat berharga ini bisa membuat kami terus ingat pada nasib orang-orang desa yang kurang beruntung, bahkan ketika kami sanggup menduduki kursi pemerintahan kelak.

Gunungkidul, 30 Desember 2007
terima kasih para pejuang di pegunungan gersang, atas

sebuah tekad untuk tetap bertahan di tengah derasnya arus zaman…

06 Januari 2008

Pertama di 2008

Hi!!!

Akhirnya kita tiba di 2008...
Tahun yang baru akan memberikan semangat baru, keceriaan baru, harapan baru, perjuangan baru, pokoknya semua serba baru...

Tapi ada satu pertanyaan...
Perlukah di tahun baru pemerintah menetapkan harga BBM baru???
Klo harga BBM naek, gimana donk nasib para perantau yang mengadu nasib bersekolah di luar kota seperti saya???

Pak Pres, klo mau naikin BBM, naikin aja buat yang naiknya Mercedes, Volvo, Jaguar, BMW, dkk. donk...
Jangan naikin BBM buat kami yang cuma naik motor...Gimana kami bisa nabung buat ganti mobil klo beli bensin buat motor aja ga bisa...

30 Desember 2007

Aku Masih Menunggumu

Aku mencintaimu dengan segala kekuranganku

Dan Engkau pun menerimaku dengan segala kekuranganku

Meski diriku tahu, diriku tak mampu menjadi sempurna di matamu

Keegoisanku merampas setiap lembar bahagia dalam dirimu

Setan di hatiku membuatku tega menduakan ketulusan cintamu

Kadang aku bertanya, masih pantaskah aku dicintai oleh wanita sepertimu?

Kelembutan dan kesabaranmu menghadapiku membuat aku begitu menyesal telah sering melukaimu

Aku ingin kita berdua kembali ke masa kita bersama

Ketika kita belum terpisah di ruang yang jauh dan berbeda

Akankah kita sangup?

Akankah kita mampu memperbaiki semua bila Tuhan berkenan mengulang waktu untuk kita berdua?

Aku tak inginkan lagi air mata

Aku hanya dambakan kembali canda tawa

Cepatlah kembali

Aku masih menanti di kapel ini

Masih menunggumu di sudut yang dulu

Dimana kita biasa menyaksikan waktu berlalu

Aku masih menantimu

Aku masih menunggumu



Aku akan tetap menunggu hingga kau membawa maaf itu,

Gunungkidul, 27 Desember 2007,

yang masih mencintaimu

Belai Badai

Malam semakin larut

Berhembus angin di sela-sela kabut

Begitu juga desah nafas panjang sang bintang

Pelan, seiring berjalannya waktu

Lambat laun semakin merebah menutup mata

Menyelam membawa mimpi indah untukmu

di tengah derasnya angin yang membelai Kota Semarang

pukul 00:28:39, 16 Oktober 2007

Senyum Anggrek

Secepat kilat Anggrek berlari menyusuri koridor apartemen tempat tinggalnya. Dengan tangan gemetar, ditekannya tombol lift. Semenit kemudian, pintu lift pun terbuka. Anggrek melangkah memasuki lift yang kosong itu, dan cepat-cepat ditekannya tombol bertuliskan “Lobby”.

Sepuluh, sembilan, delapan, satu demi satu lantai dilewati. Anggrek mencoba mengatur napas, namun kembali panik ketika melihat arlojinya mengarah pada pukul 13.15. Seperempat jam lagi latihan ice skating-nya akan dimulai, sementara sekarang gadis cantik itu masih berdiri manis di dalam lift.

Anggrek baru ingat, minggu lalu Bu Sissy, pelatihnya, berkata bahwa beliau berhalangan hadir pada latihan hari ini karena harus menghadiri wisuda kelulusan putrinya yang bersekolah di Belanda. Namun, minggu lalu Bu Sissy tidak menyebutkan siapa penggantinya.

“Uh, sial bener! Udah pelatihnya baru, akunya terlambat lagi! Gara-gara rapat pengurus majalah sekolah yang tadi molor banget ni!” gerutu Anggrek.

Ting, lift pun berhenti dan membuka di lantai 5. Seorang cowok jangkung memasuki lift. Ternyata tujuannya juga ke lobi, terbukti karena dia tidak jadi menekan tombol ketika dilihatnya tombol “Lobby” sudah menyala. Hmmm….wajahnya lumayan juga. Umurnya paling antara 20-25 tahun. Tingginya sekitar 170-175cm. Dia mengenakan jaket training dipadu celana sporty warna biru tua. Di pundaknya terdapat tas besar warna hitam.

Sorry, Kakak penghuni baru di sini?” sapa Anggrek mencoba mematahakan suasana kaku di antara mereka. Cowok itu menoleh.

“Maaf, tadi kamu bilang apa?” tanya cowok itu sopan pada Anggrek.

“Apa Kakak penghuni baru di sini? Saya dari kecil tinggal di apartemen ini, jadi bisa dibilang saya tau mana penghuni lama dan penghuni baru di sini. Nah, saya belum pernah lihat Kakak sebelumnya,” Anggrek menjelaskan.

Cowok itu tersenyum lalu menjawab, “Oh… Bukan kok, saya bukan penghuni baru. Memang sih saya belum lama tinggal di sini, baru sekitar tiga bulan gitu deh.”

“Oh…,” Anggrek menganggukkan kepalanya. Ketika hendak bertanya lagi, lift sudah sampai di lobi. Anggrek langsung berlari keluar lift, secepat kilat Ia memasuki mobilnya yang sudah terparkir di parkiran depan lobi, kemudian memacunya.

**

Pukul 14.00, Anggrek langsung berlari menaiki eskalator mal tempatnya berlatih ice skating. Begitu tiba di gelanggang ice skating, Anggrek bergegas menuju ruang ganti untuk bersiap diri. Setelah itu, Dia meluncur ke tengah gelanggang dan langsung disambut Karen, sahabatnya di sekolah dan di tempat latihan ice skating.

“Aduh Non, ke mana aja sih? Kirain kamu nggak dateng. Latiannya udah mulai lima belas menit yang lalu tau!”

“Iya nih, kamu tadi pulang duluan sih, nggak ikut rapat majalah sekolah yang lama buanget, udah gitu molor pula mulainya. Yah,untung aja…,” tiba-tiba kalimat Anggrek terhenti. “Eh, kalo baru mulai lima belas menit yang lalu, berarti mulainya terlambat donk, Ren?”

“Iya tuh, penggantinya Bu Sissy juga tadi telat. Tapi orangnya lumayan juga lho, cute banget deh,” ujar Karen dengan mata berseri.

Anggrek tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang konyol ini. “Oh, jadi pelatihnya cowok ni? Yang mana sih?” tanya Anggrek penasaran.

Karen menunjuk ke tengah gelanggang, “Itu tuh, yang pake baju putih, lagi meluncur sama Riani dan Hega.”

Anggrek memandang ke arah yang ditunjuk Karen. Mulanya Dia mencari-cari Riani dan Hega. Dilihatnya Riani, Hega, dan pelatih baru itu. Lho, itu kan…

”Ren, percaya ato nggak, tu cowok tinggal satu apartemen sama aku!” pekik Anggrek. Ya, cowok itu kan yang satu lift dengannya tadi.

“Hah, yang bener aja Ang? Kamu yang salah liat kali, mungkin yang kamu liat cuma orang yang mirip dia,” ujar Karen sangsi.

“Eh, kamu nggak percaya? Tadi tu cowok turun ke lobi pakai lift yang sama ma aku. Dia tadi…” belum sampai Anggrek menyelesaikan kalimatnya, pelatih baru itu udah meluncur ke arah mereka berdua.

“Sepertinya kamu telat ya? Waktu datang tadi, sepertinya saya nggak liat kamu. Apartemen tempat tinggal kita emang rada jauh ya, jadi ya saya maklum, saya sendiri tadi juga telat,” ujar pelatih baru itu panjang lebar. Dari sudut matanya, Anggrek melihat wajah Karen yang sangat terkejut.

“Maaf ya, Pak, saya telat,” Anggrek meminta maaf dengan sopan. Dipanggil seperti itu, pelatih baru itu tertawa geli.

“Jangan panggil saya ‘Pak’ donk. Saya kan jadi ngrasa tua. Umur saya dengan kamu paling hanya terpaut 3-4 tahun. Usia saya baru 21 lho.”

Anggrek tidak menyangka jawaban itu dan bertanya dengan polosnya, ”Lalu saya harus panggil apa donk?”

Pelatih baru itu mengulurkan tangannya. “Nama saya Bagus Anggara Mukti, panggil aja Angga. Lagian kamu nggak perlu minta maaf lah, kan kita sama-sama telat. Tapi ya semoga di latian selanjutnya kita nggak telat lagi ya.”

Anggrek menyambut jabatan tangan itu dan memperkenalkan dirinya pada Angga. Geli juga ketika dilihatnya wajah Karen yang mendadak berubah seperti orang blo’on. Sejenak mereka bercakap-cakap, sampai terdengar suara cempreng Saskia, murid paling norak dan nyebelin di situ.

“Kak Angga, masak yang diajarin dan diajak ngobrol cuma Karen sama Anggrek. Kan yang lainnya juga pengen ngobrol sama Kakak…” ujar Saskia dengan manjanya sambil menarik tangan Angga menjauh dari Karen dan Anggrek. Sebelum meluncur menjauh, Angga masih tersenyum pada Anggrek. Anggrek dan Karen sudah meluncur bareng di gelanggang sekarang.

“Wah Ang, aku bener-bener nggak nyangka, makhluk ganteng itu tinggal satu apartemen sama kamu. Beruntung banget kamu, punya tetangga satu rumah macam dia. Tiap hari bisa liat dia, enak bangeet…” Anggrek tersenyum mendengar kekaguman Karen, yang seakan rela melakukan apa saja untuk bisa bertukar tempat dengan Anggrek.

“Aku juga baru tau siang ini, Ren. Kalo nggak pas aku satu lift ma dia, aku juga nggak bakal tau dia tetanggaku di apartemen. Tapi kamu kok terkagum-kagum gitu sih, biasa aja kaleee...” ujar Anggrek menirukan kalimat yang sering diucapkan Karen.

“Eh ni anak, kamu nyadar nggak sih, Angga tu cakep banget? Udah cakep, tinggi, sopan, omongannya halus, ramah, wah pokoknya perfect deh, tipe cowok idaman semua cewek,” ucap Karen dengan pandangan menerawang ke arah Angga.

“Iya aku juga tau, Ren. Kalo kamu suka ma dia, pe-de-ka-te donk, kan kamu jagonya,” ucap Anggrek geli.

Wajah Karen makin cerah, tapi sesaat kemudian mendung. “Iya sih, bisa aja aku pedekate sama dia, tapi nggak ah, Dia kayaknya udah naksir duluan sama kamu sih. Kamu nyadar nggak, cara dia natap kamu, cara dia kenalan sama kamu, cara dia ngomong sama kamu. Wah, nggak diraguin lagi deh. Percaya sama aku, aku kan udah berpengalaman,” ujar Karen bangga, yang diikuti tawa Anggrek.

“Ren…Ren… Ada-ada aja kamu ni. Nggak mungkin lah dia suka ma aku, ketemu juga baru siang ini. Ih berkhayal ya kamu, hahaha…” Anggrek masih terus tertawa.

“Terserah kamu deh Ang, tapi aku yakin, penglihatanku nggak mungkin salah lho. Kalo tadi dia nggak ditarik Saskia, dia pasti masih berdiri manis di depan kamu sekarang,” ujar Karen lagi.

Anggrek tertawa. “Udah ah, kamu tu sukanya ngomong yang nggak-nggak ya.”

**

Pukul 16.30, Anggrek sudah berjalan di pelataran parkir sambil menenteng perlengkapan ice skating-nya. Baru saja dia hendak membuka pintu mobilnya, ketika dilihatnya Angga sedang berjongkok di samping sebuah Mercedes sports coupe terbaru.

“Keren banget mobilnya…” komentar Anggrek dalam hati. Masih menenteng tas, Anggrek berjalan menghampiri Angga.

“Mobil kamu? Ngadat ya?” tanya Anggrek sambil berdiri tepat di belakang Angga. Spontan Angga menoleh.

“Hai Ang, nggak sih, cuma bannya kempes banget, padahal apartemen kita kan jauh, kayaknya nggak bisa dikendarai sampe apartemen deh. Apesnya, aku lupa bawa ban serep. Duh, bingung deh,” ujar Angga putus asa.

“Coba aku lihat,” kata Anggrek sambil berjongkok di samping Angga. “Wah, ini sih parah, Ngga. Hmm, gini aja, kamu ikut aku aja ke apartemen. Nanti kamu bisa ambil ban serep dan perlengkapan ganti ban, terus balik lagi ke sini naik taksi. Gimana?” Anggrek menawarkan solusi. Dia nggak sadar kalo waktu itu mata Angga mengerjap kaget.

“Hah, beneran boleh ni? Wah makasiiih banget ya Ang, nggak tau deh gimana jadinya kalo kamu nggak ngasih tumpangan,” Angga menyambut baik tawaran Anggrek.

“Ya udah yuk cepetan, mobilku di sana tuh!” ajak Angrek sambil menunjuk mobilnya. Setelah mengunci mobilnya sendiri, Angga mengikuti Anggrek menuju mobilnya.

“Aku aja yang nyetir ya, biar kamu nggak capek nyetir ke apartemen,” ujar Angga, dan Anggrek pun mengiyakan. Sesaat kemudian mobil Anggrek sudah meluncur di jalan raya, sementara Angga dan Anggrek mengobrol ringan.

**

Pukul 17.30, mereka sudah berdiri di dalam lift, menunggu benda itu membawa mereka naik ke lantai tempat kamar mereka berada. Lift berhenti dan membuka di lantai tiga. Angga keluar dari lift.

“Ok, makasi banget ya Ang, see you next time,” kata Angga sambil melambaikan tangan.

“Bye…” balas Anggrek sambil tersenyum. Namun ketika pintu lift hendak menutup, Angga cepat-cepat menahan pintu itu dengan tubuhnya.

“Ang, kamu tinggal di lantai berapa, kamar nomer berapa? kita kan tinggal satu atap, masak nggak tau tempat tinggal tetangga sendiri?” ujar Angga.

Anggrek tersenyum lebar mendengar Angga. “Aku di lantai 11, kamar nomer 1103. Kalo kamu?”

“Aku di kamar 313, kapan-kapan mampir ya,” jawab Angga. Anggrek mengangguk, dan lima belas detik kemudian pintu lift menutup, membawa Anggrek ke lantai 11. Anggrek tidak menyadari, dia masih tersenyum sejak Angga turun dari lift.

**

Setengah jam kemudian, ketika Anggrek baru selesai mandi, terdengar suara bel di pintu kamarnya. Anggrek cepat-cepat membuka pintu, dan disambutnya mamanya yang baru pulang dari kantor.

“Halo sayang, gimana kegiatan kamu hari ini?” tanya mama sambil merangkul Anggrek dan mengecup pipinya.

Anggrek tersenyum lebar menyambut mamanya. “Semua lancar, Ma. Mama sendiri kerjaannya di kantor gimana?”

“Yah, seperti biasa, sibuk, tapi semuanya juga lancar kok, sayang, Papa belum pulang ya?” tanya mama sambil merebahkan badan di sofa.

“Iya, belum Ma, mungkin sebentar lagi. Mama mau mandi, Anggrek siapin airnya ya,” ujar Anggrek yang disambut anggukan mamanya. Anggrek paham betul kesibukan orang tuanya. Sebagai pengusaha real estate yang memiliki jam kerja cukup tinggi, mama dan papa Anggrek tampak seperti orang tersibuk di dunia bagi Anggrek. Namun Anggrek bersyukur, karena itulah keluarganya memiliki hidup berkecukupan seperti sekarang ini. Dan yang membuat Anggrek salut, kedua orangtuanya tetap bisa meluangkan waktu bagi keluarga.

Ketika mamanya mandi, Anggrek berpikir betapa inginnya kelak dia memiliki keluarga seperti keluarganya ini. Saat memikirkan itu, wajah Angga berkelebat di benaknya. Anggrek langsung menggeleng keras-keras. “Aku ini mikir apaan sih!” ujarnya pada diri sendiri.

**

Sabtu siang sepulang sekolah. Jam menunjukkan pukul 13.50. Anggrek baru turun dari mobil antar jemput sekolah.

Bye… Jangan lupa nanti malem ya, Ang!” seru teman-teman se-gank-nya dari dalam mobil.

“Tenang aja guys, kalo aku terlambat, paling cuma terlambat satu jam,” ujar Anggrek sambil tertawa, diikuti protes teman-temannya. Setelah mobil antar jemput berlalu, Anggrek masuk ke dalam apartemennya. Ketika sedang menunggu lift, Anggrek mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata Angga.

“Wah, apa kabar nih? Udah seminggu kita nggak ketemu ya. Tadinya aku mau keluar makan siang, begitu liat kamu, aku ada ide. Gimana kalo kita makan siang bareng? Kamu pasti belum makan kan?” Angga menawarkan. “Itu juga kalo kamu mau, kalo kamu nggak mau juga nggak apa kok,” lanjutnya. Anggrek terdiam sejenak.

“Ok deh, kebetulan juga aku udah laper banget ni,” jawab Anggrek ceria. Angga tersenyum, kemudian mereka berjalan menuju mobil Angga. “Kenapa aku deg-degan ya?” tanya Anggrek dalam hati.

**

Sejenak kemudian, mereka sudah melaju di jalan raya.

“Kamu mau makan di mana?” tanya Angga.

Anggrek terdiam sejenak. “Hmmm, kamu mau makan steik nggak?”

Angga tersenyum. “Oh, itu sih makanan favoritku. Kamu mau makan steik? Aku tau restoran steik yang enak. Bentar ya.” Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di restoran yang dimaksud Angga.

“Belum pernah makan di sini ya? Steiknya enak banget lho, kamu wajib coba,” ujar Angga melihat ekspresi heran di wajah Anggrek.

“Iya, aku malah nggak tau kalo ada restoran senyaman ini di sini,” jawab Anggrek.

Mereka kemudian memesan menu yang sama, yaitu steik andalan restoran itu. Sambil menunggu pesanan mereka disajikan, Anggrek dan Angga mulai mengobrol.

“Kamu anak SMA kan? Di SMA mana, kelas berapa?” tanya Angga.

“Aku di SMA Putra Bangsa, kelas 3. Kamu sendiri, kuliah di mana?” Anggrek balik tanya.

“Wah, SMA favorit tu, berarti kamu pinter ya. Dah mau ujian kan, rencananya mau kuliah di mana? Kalo aku, semester 6 di kedokteran UI,” jawab Angga.

Anggrek memandang Angga dengan kagum. “Wah, kamu pinter banget ya, bisa di UI, kedokteran lagi. Gileee beneeer… Aku tadinya juga mikir mau ambil kedokteran, tapi kayaknya aku nggak cocok jadi dokter. Aku nggak tahan liat darah ato luka-luka yang terlalu parah gitu. Mungkin aku mau ambil arsitektur aja deh.”

“Wow, keren ni calon arsitek. Kakakku juga arsitek, aku kagum bener deh liat para arsitek itu. Dulu aku juga pengen ambil arsitek, tapi masalahnya aku nggak pinter gambar, hahaha…” Angga membuat Anggrek tertawa dengan ceritanya. Sejenak kemudian pesanan mereka datang.

“Apa yang buat kamu pengen jadi dokter?” tanya Anggrek sambil menuangkan saus ke atas steiknya. Angga mendongak, dan terdiam sebentar.

“Nggak tau juga, aku mikir mau jadi dokter juga pas kelas 3 SMA. Sebelumnya, aku pengen banget jadi arsitek. Waktu SMP, aku pengen jadi pengacara, seperti papa dan mamaku. Waktu SD, aku pengen jadi pilot. Alesannya sederhana, aku pengen keliling dunia. Sebelumnya, aku juga pernah pengen jadi presiden, biar aku bisa jadi penguasa semua orang, hihihihi… Waktu kelas 3 SMA, aku jadi terpikir untuk ke dunia kesehatan Aku pengen bisa jadi ‘obat’ buat semua orang, termasuk buat keluarga dan pacarku.” Mendengar kata ‘pacar’, Anggrek merasa sesak.

“Pacar? Kamu udah punya pacar ya?” tanya Anggrek pelan.

“Belum ada. Waktu kelas 2 SMA, aku punya cewek, namanya Melly. Anaknya biasa aja, tapi baik dan ceria, aku sayang banget ma dia. Sampai ketika naik ke kelas 3, dia harus pindah ke Belgia, karena orang tuanya ditugaskan ke sana. Hubungan kami pun berhenti sampai di situ. Waktu itu rasanya sedih banget, dan sampai lulus SMA aku belum bisa nglupain Melly. Kalo pas aku ketemu dia waktu dia pulang ke Indonesia, aku selalu inget masa-masa kami waktu masih pacaran. Tapi setelah kuliah, aku sadar aku nggak boleh terus-terusan terjebak sama masa laluku, pelan-pelan aku bisa nglupain Melly. Dan sekarang, aku malah sedang jatuh cinta sama seseorang,” Angga bercerita panjang lebar.

Hati Anggrek terasa sakit mendengar pengakuan Angga itu. Barulah dia sadar, dia menyayangi Angga, perasaan yang selama ini dipungkirinya. Hatinya terasa hambar saat mendengar ucapan Angga.

“Emang siapa cewek yang kamu suka itu? Kasih tau donk,” Anggrek mencoba mengorek pengakuan Angga. Angga menggeleng sambil tersenyum.

“Rahasia. Sekarang ini, belum boleh ada yang tau siapa cewek itu. Aku bermaksud nembak dia bulan depan, pas Valentine. Tenang aja, kalo aku jadian, kamu pasti jadi orang pertama yang aku kasih tau,” jawab Angga.

Anggrek tidak ingin hatinya bertambah sesak, maka dia mencoba mencari topik lain.

“Eh, ternyata Bu Sissy tu tante kamu ya?” Anggrek lega karena bisa menemukan topik lain.

“Iya, kok kamu tau? Pasti dia cerita ke kamu ya?” tanya Angga.

“Iya, di latihan kemarin, Bu Sissy banyak cerita tentang kamu.”

“Ah, tante selalu gitu, nggak bisa berhenti kalo udah cerita tentang keluarganya. Jangan sampai deh dia cerita tentang jemuran baju waktu aku umur 5 tahun,” ujar Angga sambil melahap potongan steiknya.

“Eh, apa? Dia nggak cerita tentang itu. Ceritain donk, Ngga…,” rengek Anggrek.

“Ah, nggak. Biar itu jadi rahasia keluarga,” tolak Angga dengan mimik lucu sambil mengangkat tangan, disambut tawa mereka berdua. Begitulah, obrolan siang itu menjadi obrolan menyenangkan bagi mereka. Mereka makin mengnal satu sama lain. Dan menyadarkan Anggrek, cowok yang ada di hadapannya sekarang adalah prince charming-nya.

**

“Duile si Anggrek, lagi jatuh cinta ni yeee….,” goda teman-teman segengnya waktu malam itu mereka berkumpul di kafe langganan mereka. Anggrek memejamkan mata, dengan satu tangan menutup telinga dan tangan lain menepuk dahinya.

“Ssstt, udah donk…! Emangnya aneh ya kalo aku jatuh cinta. Tau gini, aku nggak cerita ma kalian deh,” tukas Anggrek, dengan pipi bersemu merah.

“Ah Anggrek, masak kamu tega nian ma sahabat-sahabatmu ini?” goda Karen.

“Iya ni, waktu kamu nolak cintanya si Jeremy, temen les Inggris kamu yang cakep banget itu, aku kira kamu udah nggak kenal ma yang namanya sense of love. Sekarang ketika akhirnya kamu jatuh cinta lagi setelah sekian lama, kita-kita juga ikut seneng tau!” sambung Cathy.

“Kalo ntar kamu jadian, jangan lupa traktir kami ya! Hahaha, ayo maju terus Ang, jangan ragu-ragu,” timpal Sophie.

“Ih, kamu-kamu kok yakin bener aku bakal jadian ma Dia? Sok yakin bener. Kan tadi aku udah bilang, dia tu udah punya inceran. Tapi yah, it’s ok, kan cinta nggak harus memiliki ya. Paling nggak, aku bisa cerita, sekarang aku lagi suka ma dia,” ujar Anggrek pasrah.

“Non, pernah nggak kamu terpikir bahwa yang Dia cintai itu kamu?” tanya Nining. Sesaat Anggrek terkejut, dan menatap Nining.

“Aku? Mana mungkin… Kan aku baru seminggu kenal ma dia, nggak mungkinlah dia suka ma aku,” jawab Anggrek.

“Yeee, kamu sendiri biar baru seminggu kenal juga udah suka ma dia kan? Udah deh, tunggu aja, Valentine nanti, pasti kamu yang ditembak Dia,” jawab Nining.

“Iya Ang. Sambil nunggu dia, kamu kudu ngasi lampu ijo ke Angga, biar dia nggak ragu nembak kamu. Kalo kamu nggak bisa nunggu, terapin emansipasi, tembak dia duluan,” goda Karen.

“Ah, udah ah. Balik yuk, udah malem ni,” kata Anggrek, mencoba berkelit. Teman-temannya hanya bisa angkat bahu melihat kepasrahan Anggrek.

**

Nggak kerasa Valentine udah datang. Sejauh ini, Anggrek tetap merasa pesimis terhadap Angga. Namun hari ini, malam nanti, Anggrek berencana menyatakan perasaannya ke Angga, sambil ngasih coklat yang sudah dia pesan di toko kue langganannya. Bagi Anggrek, nggak masalah ditolak, yang penting Angga tau perasaannya. Di sekolah, teman-temannya pada berebut ngomongin gebetan masing-masing. Termasuk, empat sahabatnya, yang masing-masing udah punya cowok.

“Tunggu aja, hari ini pasti Angga nembak kamu. Dan besok pagi, kamu bakal teriak-teriak ke kita semua bahwa kamu udah jadian. Ya kan?” kata Cathy.

“Tenang Ang, kita bakal berdoa buat kamu. Ingat kata orang dulu, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” sambung Karen. Semua teman segengnya bergantian menyemangati dia.

Thanks banget ya temen-temen,” hanya itu yang keluar dari mulut Anggrek setelah turun dari mobil antar jemput sekolah.

**

”Ang, bangun! Ada yang mau mama bilang ke kamu,” terdengar suara lembut mama Anggrek. Ketika membuka mata, Anggrek melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah cemas, dikelilingi beberapa polisi. Dengan mata setengah terpejam, Anggrek melihat arlojinya menunjukkan pukul 19.00. “Oya, tadi sore aku tertidur waktu nonton TV,” batin Anggrek.

“Ada apa, Ma?” tanya Anggrek. Seorang polisi menghampirinya.

“Anggrek, apa kamu kenal dengan pria bernama Bagus Anggara Mukti?” tanya polisi itu dengan sopan. Mendengar nama Angga, mata Anggrek langsung terbelalak. Kantuknya pergi entah ke mana.

“Iya Pak, itu teman saya. Memangnya ada apa dengan dia, Pak?” tanya Anggrek panik. Meski sekilas, Anggrek sempat menangkap raut kesedihan dan iba di mata polisi itu. Anggrek tambah panik.

“Tolong, beri tau saya, ada apa?” Anggrek menuntut penjelasan ke semua orang yang ada di situ. Dilihatnya mama menahan air mata di kelopak matanya.

“Bu, kami rasa Ibu lebih bisa menjelaskan semua ini ke putri Ibu. Tolong Bu, kami mohon bantuannya,” ujar polisi tadi kepada mama, kemudian polisi-polisi itu keluar kamar.

“Pa, Ma, ada apa sih?” tanya Anggrek lagi. Papa dan mama duduk di sisinya.

“Sebelumnya, papa minta kamu tenang dulu,” kata papa. Kemudian papa dan mama terdiam sebentar.

“Sayang, Angga…Angga… dia sudah meninggal,” kata mama pelan. Anggrek tidak tau harus berkata apa. Dia terdiam sebentar sambil akhirnya tertawa getir.

“Nggak Ma, nggak mungkin Angga meninggal. Pa, Mama bercanda kan? Dia…dia…,” Anggrek tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Tangisnya langsung meledak. Melihat Anggrek seperti itu, papa dan mamanya menggeleng putus asa. papanya terlihat sangat cemas, sementara mamanya mulai menangis.

“Anggrek sayang, itu kenyataannya. Angga meninggal karena kecelakaan mobil pukul 18.05 tadi. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi dia hanya bisa bertahan selama 15 menit. Dia sempat menitipkan ini untuk kamu,” ujar papa pelan sambil menyerahkan sebuah kaset handycam pada Anggrek.

“Kata temannya yang diketahui baru dikunjungi sebelum dia kecelakaan, Angga berkata bahwa dia ingin menyampaikan perasaannya lewat kaset ini,” sambung mama. Dengan kepala pusing dan bersimbah air mata, Anggrek mencoba mencerna semua yang telah diucapkan papa dan mamanya. Dia menyetel kaset itu. Tampak wajah Angga, duduk di tepi kolam renang apartemen.

“Hai, Ang. Aku nggak mau ngomong panjang lebar di sini. Aku cuma mau ngomong, aku sayang kamu. Yang selama ini jadi incaranku itu kamu. Sejak kita ngobrol di tempat ice skating, aku udah respek sama kamu. Dan waktu kita makan steik bareng, saat itu aku sadar, aku sayaaang banget sama kamu. Sorry, aku hanya bisa ngucapin ini. Mungkin kamu nganggap aku nggak gentle, karena nyatain perasaan lewat kaset. Tapi inilah caraku untuk nunjukkin perasaanku ke kamu. Aku nggak mau maksa kamu, apapun jawabanmu akan aku terima. Aku cuma pengen kamu tau, bahwa selama ini Angga sayang sama kamu,” demikian yang diucapkan Angga dalam kaset itu. Mengetahui semua ini membuat hati Anggrek makin pedih. Wajah dan senyum Angga yang baru dilihatnya, membuat tangisnya makin menjadi.

“Angga, selama ini aku juga sayang sama kamu, aku sayang kamu, Ngga…” bisik Anggrek di sela tangisnya. Dalam pelukan papanya dan belaian mamanya, Anggrek menumpahkan segala tangis dan kesedihannya.

**

Minggu pagi pukul 10.00. Anggrek berdiri diam di samping pusara Angga. Sementara satu persatu orang yang hadir di pemakaman mohon pamit, menyalami keluarga Angga.

“Kenapa harus begini, Ngga? Kenapa?” bisik Anggrek sambil berlutut di samping pusara Angga. Dilihatnya papa dan mama sedang mengobrol dengan orang tua Angga. Di wajah mereka terlihat jelas raut sedih dan iba. Bu Sissy mendekati dan merangkul pundak Anggrek.

“Kamu tau, apa yang dilakukan Angga sebelum menghembuskan napas terakhirnya?” tanya Bu Sissy dengan sabar. Anggrek menggeleng.

“Yang saya tau, sebelum meninggal, dia menitipkan pesan untuk saya,” jawab Anggrek lirih. Bu Sissy tersenyum lembut.

“Dia tersenyum, Ang.” Anggrek mendongak, menatap wajah Bu Sissy dengan tak percaya. Terbayang olehnya wajah Angga yang bersimbah darah dan menahan sakit, tersenyum? “Setelah menitipkan pesan untukmu, Angga tersenyum, kemudian menutup matanya. Itulah senyum termanis Angga yang pernah Ibu lihat, senyumnya menunjukkan kesungguhan, seakan ingin menabahkan kita yang ditinggalkan. Dan Ibu yakin, kamu yang membuatnya tersenyum di saat-saat terakhirnya. Wajahnya damai sekali.” kata Bu Sissy sambil berusaha menahan tangis. “Jangan pernah kecewakan senyumnya, Ang,” lanjut Bu Sissy sambil menepuk bahu Anggrek dan berjalan menjauh. Anggrek menatap pusara Angga, kemudian tersenyum.

“Terima kasih untuk semuanya, Ngga. Berjanjilah, setiap mentari terbit, kamu akan memberikan senyuman termanis untukku, tersenyumlah dari surga,” ujar Anggrek tercekat. Kemudian Anggrek memandang langit, tersenyum lembut. “Senyummu memberiku semangat untuk menatap masa depan. Aku berjanji, akan tetap menyimpan namamu di hatiku sambil tetap menyongsong masa depanku sebaik-baiknya. Selamat jalan, Angga,” ujar Anggrek dalam hati masih dengan senyum termanisnya.

****

Siapa...???

Masih teringat jelas di benakku

Saat kugenggam erat tanganmu

Dan kupeluk mesra tubuhmu

Hingga akhirnya,

Ketika masa itu tiba

Kau beranjak ke Jakarta

Tinggalkanku yang bermandikan luka

Siapakah gerangan dirinya?

Yang membuat kita begitu merana

Terpisah jarak Jakarta-Yogyakarta

Siapa? Siapa? Siapa?

Irikah dia pada kemesraan kita?

Ataukah dia ingin hancurkan kebahagiaan kita?

Persetan siapapun dia!

Yang bisa disalahkan cuma kita berdua

Meski tak penting menunjuk siapa

Yang terpenting adalah,

Menunjukkan niat kita

Untuk memoles hubungan yang retak ini

digoreskan dengan tinta merah

di tengah gerimis pertama

di bulan September

Pentingnya Etika dan Nilai-Nilainya dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya.

Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.[2]

Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.[3]

Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.[4]

Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan. Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara ilmuwan dengan truth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.

Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu yang amat singkat.

Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.



[1] Achmad Charris Zubair, “Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia”, Lembaga Studi Filsafat Islam: Yogyakarta, 2002, h. 49.

[2] Ibid, h. 54-55.

[3] Program Pendidikan Perguruan Tinggi UI, Modul MPKT, PDPT Universitas Indonesia: Depok, 2007, h. 82.

[4] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, h. 168.

[5] Ibid, h. 170-171.