30 Desember 2007

Aku Masih Menunggumu

Aku mencintaimu dengan segala kekuranganku

Dan Engkau pun menerimaku dengan segala kekuranganku

Meski diriku tahu, diriku tak mampu menjadi sempurna di matamu

Keegoisanku merampas setiap lembar bahagia dalam dirimu

Setan di hatiku membuatku tega menduakan ketulusan cintamu

Kadang aku bertanya, masih pantaskah aku dicintai oleh wanita sepertimu?

Kelembutan dan kesabaranmu menghadapiku membuat aku begitu menyesal telah sering melukaimu

Aku ingin kita berdua kembali ke masa kita bersama

Ketika kita belum terpisah di ruang yang jauh dan berbeda

Akankah kita sangup?

Akankah kita mampu memperbaiki semua bila Tuhan berkenan mengulang waktu untuk kita berdua?

Aku tak inginkan lagi air mata

Aku hanya dambakan kembali canda tawa

Cepatlah kembali

Aku masih menanti di kapel ini

Masih menunggumu di sudut yang dulu

Dimana kita biasa menyaksikan waktu berlalu

Aku masih menantimu

Aku masih menunggumu



Aku akan tetap menunggu hingga kau membawa maaf itu,

Gunungkidul, 27 Desember 2007,

yang masih mencintaimu

Belai Badai

Malam semakin larut

Berhembus angin di sela-sela kabut

Begitu juga desah nafas panjang sang bintang

Pelan, seiring berjalannya waktu

Lambat laun semakin merebah menutup mata

Menyelam membawa mimpi indah untukmu

di tengah derasnya angin yang membelai Kota Semarang

pukul 00:28:39, 16 Oktober 2007

Senyum Anggrek

Secepat kilat Anggrek berlari menyusuri koridor apartemen tempat tinggalnya. Dengan tangan gemetar, ditekannya tombol lift. Semenit kemudian, pintu lift pun terbuka. Anggrek melangkah memasuki lift yang kosong itu, dan cepat-cepat ditekannya tombol bertuliskan “Lobby”.

Sepuluh, sembilan, delapan, satu demi satu lantai dilewati. Anggrek mencoba mengatur napas, namun kembali panik ketika melihat arlojinya mengarah pada pukul 13.15. Seperempat jam lagi latihan ice skating-nya akan dimulai, sementara sekarang gadis cantik itu masih berdiri manis di dalam lift.

Anggrek baru ingat, minggu lalu Bu Sissy, pelatihnya, berkata bahwa beliau berhalangan hadir pada latihan hari ini karena harus menghadiri wisuda kelulusan putrinya yang bersekolah di Belanda. Namun, minggu lalu Bu Sissy tidak menyebutkan siapa penggantinya.

“Uh, sial bener! Udah pelatihnya baru, akunya terlambat lagi! Gara-gara rapat pengurus majalah sekolah yang tadi molor banget ni!” gerutu Anggrek.

Ting, lift pun berhenti dan membuka di lantai 5. Seorang cowok jangkung memasuki lift. Ternyata tujuannya juga ke lobi, terbukti karena dia tidak jadi menekan tombol ketika dilihatnya tombol “Lobby” sudah menyala. Hmmm….wajahnya lumayan juga. Umurnya paling antara 20-25 tahun. Tingginya sekitar 170-175cm. Dia mengenakan jaket training dipadu celana sporty warna biru tua. Di pundaknya terdapat tas besar warna hitam.

Sorry, Kakak penghuni baru di sini?” sapa Anggrek mencoba mematahakan suasana kaku di antara mereka. Cowok itu menoleh.

“Maaf, tadi kamu bilang apa?” tanya cowok itu sopan pada Anggrek.

“Apa Kakak penghuni baru di sini? Saya dari kecil tinggal di apartemen ini, jadi bisa dibilang saya tau mana penghuni lama dan penghuni baru di sini. Nah, saya belum pernah lihat Kakak sebelumnya,” Anggrek menjelaskan.

Cowok itu tersenyum lalu menjawab, “Oh… Bukan kok, saya bukan penghuni baru. Memang sih saya belum lama tinggal di sini, baru sekitar tiga bulan gitu deh.”

“Oh…,” Anggrek menganggukkan kepalanya. Ketika hendak bertanya lagi, lift sudah sampai di lobi. Anggrek langsung berlari keluar lift, secepat kilat Ia memasuki mobilnya yang sudah terparkir di parkiran depan lobi, kemudian memacunya.

**

Pukul 14.00, Anggrek langsung berlari menaiki eskalator mal tempatnya berlatih ice skating. Begitu tiba di gelanggang ice skating, Anggrek bergegas menuju ruang ganti untuk bersiap diri. Setelah itu, Dia meluncur ke tengah gelanggang dan langsung disambut Karen, sahabatnya di sekolah dan di tempat latihan ice skating.

“Aduh Non, ke mana aja sih? Kirain kamu nggak dateng. Latiannya udah mulai lima belas menit yang lalu tau!”

“Iya nih, kamu tadi pulang duluan sih, nggak ikut rapat majalah sekolah yang lama buanget, udah gitu molor pula mulainya. Yah,untung aja…,” tiba-tiba kalimat Anggrek terhenti. “Eh, kalo baru mulai lima belas menit yang lalu, berarti mulainya terlambat donk, Ren?”

“Iya tuh, penggantinya Bu Sissy juga tadi telat. Tapi orangnya lumayan juga lho, cute banget deh,” ujar Karen dengan mata berseri.

Anggrek tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang konyol ini. “Oh, jadi pelatihnya cowok ni? Yang mana sih?” tanya Anggrek penasaran.

Karen menunjuk ke tengah gelanggang, “Itu tuh, yang pake baju putih, lagi meluncur sama Riani dan Hega.”

Anggrek memandang ke arah yang ditunjuk Karen. Mulanya Dia mencari-cari Riani dan Hega. Dilihatnya Riani, Hega, dan pelatih baru itu. Lho, itu kan…

”Ren, percaya ato nggak, tu cowok tinggal satu apartemen sama aku!” pekik Anggrek. Ya, cowok itu kan yang satu lift dengannya tadi.

“Hah, yang bener aja Ang? Kamu yang salah liat kali, mungkin yang kamu liat cuma orang yang mirip dia,” ujar Karen sangsi.

“Eh, kamu nggak percaya? Tadi tu cowok turun ke lobi pakai lift yang sama ma aku. Dia tadi…” belum sampai Anggrek menyelesaikan kalimatnya, pelatih baru itu udah meluncur ke arah mereka berdua.

“Sepertinya kamu telat ya? Waktu datang tadi, sepertinya saya nggak liat kamu. Apartemen tempat tinggal kita emang rada jauh ya, jadi ya saya maklum, saya sendiri tadi juga telat,” ujar pelatih baru itu panjang lebar. Dari sudut matanya, Anggrek melihat wajah Karen yang sangat terkejut.

“Maaf ya, Pak, saya telat,” Anggrek meminta maaf dengan sopan. Dipanggil seperti itu, pelatih baru itu tertawa geli.

“Jangan panggil saya ‘Pak’ donk. Saya kan jadi ngrasa tua. Umur saya dengan kamu paling hanya terpaut 3-4 tahun. Usia saya baru 21 lho.”

Anggrek tidak menyangka jawaban itu dan bertanya dengan polosnya, ”Lalu saya harus panggil apa donk?”

Pelatih baru itu mengulurkan tangannya. “Nama saya Bagus Anggara Mukti, panggil aja Angga. Lagian kamu nggak perlu minta maaf lah, kan kita sama-sama telat. Tapi ya semoga di latian selanjutnya kita nggak telat lagi ya.”

Anggrek menyambut jabatan tangan itu dan memperkenalkan dirinya pada Angga. Geli juga ketika dilihatnya wajah Karen yang mendadak berubah seperti orang blo’on. Sejenak mereka bercakap-cakap, sampai terdengar suara cempreng Saskia, murid paling norak dan nyebelin di situ.

“Kak Angga, masak yang diajarin dan diajak ngobrol cuma Karen sama Anggrek. Kan yang lainnya juga pengen ngobrol sama Kakak…” ujar Saskia dengan manjanya sambil menarik tangan Angga menjauh dari Karen dan Anggrek. Sebelum meluncur menjauh, Angga masih tersenyum pada Anggrek. Anggrek dan Karen sudah meluncur bareng di gelanggang sekarang.

“Wah Ang, aku bener-bener nggak nyangka, makhluk ganteng itu tinggal satu apartemen sama kamu. Beruntung banget kamu, punya tetangga satu rumah macam dia. Tiap hari bisa liat dia, enak bangeet…” Anggrek tersenyum mendengar kekaguman Karen, yang seakan rela melakukan apa saja untuk bisa bertukar tempat dengan Anggrek.

“Aku juga baru tau siang ini, Ren. Kalo nggak pas aku satu lift ma dia, aku juga nggak bakal tau dia tetanggaku di apartemen. Tapi kamu kok terkagum-kagum gitu sih, biasa aja kaleee...” ujar Anggrek menirukan kalimat yang sering diucapkan Karen.

“Eh ni anak, kamu nyadar nggak sih, Angga tu cakep banget? Udah cakep, tinggi, sopan, omongannya halus, ramah, wah pokoknya perfect deh, tipe cowok idaman semua cewek,” ucap Karen dengan pandangan menerawang ke arah Angga.

“Iya aku juga tau, Ren. Kalo kamu suka ma dia, pe-de-ka-te donk, kan kamu jagonya,” ucap Anggrek geli.

Wajah Karen makin cerah, tapi sesaat kemudian mendung. “Iya sih, bisa aja aku pedekate sama dia, tapi nggak ah, Dia kayaknya udah naksir duluan sama kamu sih. Kamu nyadar nggak, cara dia natap kamu, cara dia kenalan sama kamu, cara dia ngomong sama kamu. Wah, nggak diraguin lagi deh. Percaya sama aku, aku kan udah berpengalaman,” ujar Karen bangga, yang diikuti tawa Anggrek.

“Ren…Ren… Ada-ada aja kamu ni. Nggak mungkin lah dia suka ma aku, ketemu juga baru siang ini. Ih berkhayal ya kamu, hahaha…” Anggrek masih terus tertawa.

“Terserah kamu deh Ang, tapi aku yakin, penglihatanku nggak mungkin salah lho. Kalo tadi dia nggak ditarik Saskia, dia pasti masih berdiri manis di depan kamu sekarang,” ujar Karen lagi.

Anggrek tertawa. “Udah ah, kamu tu sukanya ngomong yang nggak-nggak ya.”

**

Pukul 16.30, Anggrek sudah berjalan di pelataran parkir sambil menenteng perlengkapan ice skating-nya. Baru saja dia hendak membuka pintu mobilnya, ketika dilihatnya Angga sedang berjongkok di samping sebuah Mercedes sports coupe terbaru.

“Keren banget mobilnya…” komentar Anggrek dalam hati. Masih menenteng tas, Anggrek berjalan menghampiri Angga.

“Mobil kamu? Ngadat ya?” tanya Anggrek sambil berdiri tepat di belakang Angga. Spontan Angga menoleh.

“Hai Ang, nggak sih, cuma bannya kempes banget, padahal apartemen kita kan jauh, kayaknya nggak bisa dikendarai sampe apartemen deh. Apesnya, aku lupa bawa ban serep. Duh, bingung deh,” ujar Angga putus asa.

“Coba aku lihat,” kata Anggrek sambil berjongkok di samping Angga. “Wah, ini sih parah, Ngga. Hmm, gini aja, kamu ikut aku aja ke apartemen. Nanti kamu bisa ambil ban serep dan perlengkapan ganti ban, terus balik lagi ke sini naik taksi. Gimana?” Anggrek menawarkan solusi. Dia nggak sadar kalo waktu itu mata Angga mengerjap kaget.

“Hah, beneran boleh ni? Wah makasiiih banget ya Ang, nggak tau deh gimana jadinya kalo kamu nggak ngasih tumpangan,” Angga menyambut baik tawaran Anggrek.

“Ya udah yuk cepetan, mobilku di sana tuh!” ajak Angrek sambil menunjuk mobilnya. Setelah mengunci mobilnya sendiri, Angga mengikuti Anggrek menuju mobilnya.

“Aku aja yang nyetir ya, biar kamu nggak capek nyetir ke apartemen,” ujar Angga, dan Anggrek pun mengiyakan. Sesaat kemudian mobil Anggrek sudah meluncur di jalan raya, sementara Angga dan Anggrek mengobrol ringan.

**

Pukul 17.30, mereka sudah berdiri di dalam lift, menunggu benda itu membawa mereka naik ke lantai tempat kamar mereka berada. Lift berhenti dan membuka di lantai tiga. Angga keluar dari lift.

“Ok, makasi banget ya Ang, see you next time,” kata Angga sambil melambaikan tangan.

“Bye…” balas Anggrek sambil tersenyum. Namun ketika pintu lift hendak menutup, Angga cepat-cepat menahan pintu itu dengan tubuhnya.

“Ang, kamu tinggal di lantai berapa, kamar nomer berapa? kita kan tinggal satu atap, masak nggak tau tempat tinggal tetangga sendiri?” ujar Angga.

Anggrek tersenyum lebar mendengar Angga. “Aku di lantai 11, kamar nomer 1103. Kalo kamu?”

“Aku di kamar 313, kapan-kapan mampir ya,” jawab Angga. Anggrek mengangguk, dan lima belas detik kemudian pintu lift menutup, membawa Anggrek ke lantai 11. Anggrek tidak menyadari, dia masih tersenyum sejak Angga turun dari lift.

**

Setengah jam kemudian, ketika Anggrek baru selesai mandi, terdengar suara bel di pintu kamarnya. Anggrek cepat-cepat membuka pintu, dan disambutnya mamanya yang baru pulang dari kantor.

“Halo sayang, gimana kegiatan kamu hari ini?” tanya mama sambil merangkul Anggrek dan mengecup pipinya.

Anggrek tersenyum lebar menyambut mamanya. “Semua lancar, Ma. Mama sendiri kerjaannya di kantor gimana?”

“Yah, seperti biasa, sibuk, tapi semuanya juga lancar kok, sayang, Papa belum pulang ya?” tanya mama sambil merebahkan badan di sofa.

“Iya, belum Ma, mungkin sebentar lagi. Mama mau mandi, Anggrek siapin airnya ya,” ujar Anggrek yang disambut anggukan mamanya. Anggrek paham betul kesibukan orang tuanya. Sebagai pengusaha real estate yang memiliki jam kerja cukup tinggi, mama dan papa Anggrek tampak seperti orang tersibuk di dunia bagi Anggrek. Namun Anggrek bersyukur, karena itulah keluarganya memiliki hidup berkecukupan seperti sekarang ini. Dan yang membuat Anggrek salut, kedua orangtuanya tetap bisa meluangkan waktu bagi keluarga.

Ketika mamanya mandi, Anggrek berpikir betapa inginnya kelak dia memiliki keluarga seperti keluarganya ini. Saat memikirkan itu, wajah Angga berkelebat di benaknya. Anggrek langsung menggeleng keras-keras. “Aku ini mikir apaan sih!” ujarnya pada diri sendiri.

**

Sabtu siang sepulang sekolah. Jam menunjukkan pukul 13.50. Anggrek baru turun dari mobil antar jemput sekolah.

Bye… Jangan lupa nanti malem ya, Ang!” seru teman-teman se-gank-nya dari dalam mobil.

“Tenang aja guys, kalo aku terlambat, paling cuma terlambat satu jam,” ujar Anggrek sambil tertawa, diikuti protes teman-temannya. Setelah mobil antar jemput berlalu, Anggrek masuk ke dalam apartemennya. Ketika sedang menunggu lift, Anggrek mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata Angga.

“Wah, apa kabar nih? Udah seminggu kita nggak ketemu ya. Tadinya aku mau keluar makan siang, begitu liat kamu, aku ada ide. Gimana kalo kita makan siang bareng? Kamu pasti belum makan kan?” Angga menawarkan. “Itu juga kalo kamu mau, kalo kamu nggak mau juga nggak apa kok,” lanjutnya. Anggrek terdiam sejenak.

“Ok deh, kebetulan juga aku udah laper banget ni,” jawab Anggrek ceria. Angga tersenyum, kemudian mereka berjalan menuju mobil Angga. “Kenapa aku deg-degan ya?” tanya Anggrek dalam hati.

**

Sejenak kemudian, mereka sudah melaju di jalan raya.

“Kamu mau makan di mana?” tanya Angga.

Anggrek terdiam sejenak. “Hmmm, kamu mau makan steik nggak?”

Angga tersenyum. “Oh, itu sih makanan favoritku. Kamu mau makan steik? Aku tau restoran steik yang enak. Bentar ya.” Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di restoran yang dimaksud Angga.

“Belum pernah makan di sini ya? Steiknya enak banget lho, kamu wajib coba,” ujar Angga melihat ekspresi heran di wajah Anggrek.

“Iya, aku malah nggak tau kalo ada restoran senyaman ini di sini,” jawab Anggrek.

Mereka kemudian memesan menu yang sama, yaitu steik andalan restoran itu. Sambil menunggu pesanan mereka disajikan, Anggrek dan Angga mulai mengobrol.

“Kamu anak SMA kan? Di SMA mana, kelas berapa?” tanya Angga.

“Aku di SMA Putra Bangsa, kelas 3. Kamu sendiri, kuliah di mana?” Anggrek balik tanya.

“Wah, SMA favorit tu, berarti kamu pinter ya. Dah mau ujian kan, rencananya mau kuliah di mana? Kalo aku, semester 6 di kedokteran UI,” jawab Angga.

Anggrek memandang Angga dengan kagum. “Wah, kamu pinter banget ya, bisa di UI, kedokteran lagi. Gileee beneeer… Aku tadinya juga mikir mau ambil kedokteran, tapi kayaknya aku nggak cocok jadi dokter. Aku nggak tahan liat darah ato luka-luka yang terlalu parah gitu. Mungkin aku mau ambil arsitektur aja deh.”

“Wow, keren ni calon arsitek. Kakakku juga arsitek, aku kagum bener deh liat para arsitek itu. Dulu aku juga pengen ambil arsitek, tapi masalahnya aku nggak pinter gambar, hahaha…” Angga membuat Anggrek tertawa dengan ceritanya. Sejenak kemudian pesanan mereka datang.

“Apa yang buat kamu pengen jadi dokter?” tanya Anggrek sambil menuangkan saus ke atas steiknya. Angga mendongak, dan terdiam sebentar.

“Nggak tau juga, aku mikir mau jadi dokter juga pas kelas 3 SMA. Sebelumnya, aku pengen banget jadi arsitek. Waktu SMP, aku pengen jadi pengacara, seperti papa dan mamaku. Waktu SD, aku pengen jadi pilot. Alesannya sederhana, aku pengen keliling dunia. Sebelumnya, aku juga pernah pengen jadi presiden, biar aku bisa jadi penguasa semua orang, hihihihi… Waktu kelas 3 SMA, aku jadi terpikir untuk ke dunia kesehatan Aku pengen bisa jadi ‘obat’ buat semua orang, termasuk buat keluarga dan pacarku.” Mendengar kata ‘pacar’, Anggrek merasa sesak.

“Pacar? Kamu udah punya pacar ya?” tanya Anggrek pelan.

“Belum ada. Waktu kelas 2 SMA, aku punya cewek, namanya Melly. Anaknya biasa aja, tapi baik dan ceria, aku sayang banget ma dia. Sampai ketika naik ke kelas 3, dia harus pindah ke Belgia, karena orang tuanya ditugaskan ke sana. Hubungan kami pun berhenti sampai di situ. Waktu itu rasanya sedih banget, dan sampai lulus SMA aku belum bisa nglupain Melly. Kalo pas aku ketemu dia waktu dia pulang ke Indonesia, aku selalu inget masa-masa kami waktu masih pacaran. Tapi setelah kuliah, aku sadar aku nggak boleh terus-terusan terjebak sama masa laluku, pelan-pelan aku bisa nglupain Melly. Dan sekarang, aku malah sedang jatuh cinta sama seseorang,” Angga bercerita panjang lebar.

Hati Anggrek terasa sakit mendengar pengakuan Angga itu. Barulah dia sadar, dia menyayangi Angga, perasaan yang selama ini dipungkirinya. Hatinya terasa hambar saat mendengar ucapan Angga.

“Emang siapa cewek yang kamu suka itu? Kasih tau donk,” Anggrek mencoba mengorek pengakuan Angga. Angga menggeleng sambil tersenyum.

“Rahasia. Sekarang ini, belum boleh ada yang tau siapa cewek itu. Aku bermaksud nembak dia bulan depan, pas Valentine. Tenang aja, kalo aku jadian, kamu pasti jadi orang pertama yang aku kasih tau,” jawab Angga.

Anggrek tidak ingin hatinya bertambah sesak, maka dia mencoba mencari topik lain.

“Eh, ternyata Bu Sissy tu tante kamu ya?” Anggrek lega karena bisa menemukan topik lain.

“Iya, kok kamu tau? Pasti dia cerita ke kamu ya?” tanya Angga.

“Iya, di latihan kemarin, Bu Sissy banyak cerita tentang kamu.”

“Ah, tante selalu gitu, nggak bisa berhenti kalo udah cerita tentang keluarganya. Jangan sampai deh dia cerita tentang jemuran baju waktu aku umur 5 tahun,” ujar Angga sambil melahap potongan steiknya.

“Eh, apa? Dia nggak cerita tentang itu. Ceritain donk, Ngga…,” rengek Anggrek.

“Ah, nggak. Biar itu jadi rahasia keluarga,” tolak Angga dengan mimik lucu sambil mengangkat tangan, disambut tawa mereka berdua. Begitulah, obrolan siang itu menjadi obrolan menyenangkan bagi mereka. Mereka makin mengnal satu sama lain. Dan menyadarkan Anggrek, cowok yang ada di hadapannya sekarang adalah prince charming-nya.

**

“Duile si Anggrek, lagi jatuh cinta ni yeee….,” goda teman-teman segengnya waktu malam itu mereka berkumpul di kafe langganan mereka. Anggrek memejamkan mata, dengan satu tangan menutup telinga dan tangan lain menepuk dahinya.

“Ssstt, udah donk…! Emangnya aneh ya kalo aku jatuh cinta. Tau gini, aku nggak cerita ma kalian deh,” tukas Anggrek, dengan pipi bersemu merah.

“Ah Anggrek, masak kamu tega nian ma sahabat-sahabatmu ini?” goda Karen.

“Iya ni, waktu kamu nolak cintanya si Jeremy, temen les Inggris kamu yang cakep banget itu, aku kira kamu udah nggak kenal ma yang namanya sense of love. Sekarang ketika akhirnya kamu jatuh cinta lagi setelah sekian lama, kita-kita juga ikut seneng tau!” sambung Cathy.

“Kalo ntar kamu jadian, jangan lupa traktir kami ya! Hahaha, ayo maju terus Ang, jangan ragu-ragu,” timpal Sophie.

“Ih, kamu-kamu kok yakin bener aku bakal jadian ma Dia? Sok yakin bener. Kan tadi aku udah bilang, dia tu udah punya inceran. Tapi yah, it’s ok, kan cinta nggak harus memiliki ya. Paling nggak, aku bisa cerita, sekarang aku lagi suka ma dia,” ujar Anggrek pasrah.

“Non, pernah nggak kamu terpikir bahwa yang Dia cintai itu kamu?” tanya Nining. Sesaat Anggrek terkejut, dan menatap Nining.

“Aku? Mana mungkin… Kan aku baru seminggu kenal ma dia, nggak mungkinlah dia suka ma aku,” jawab Anggrek.

“Yeee, kamu sendiri biar baru seminggu kenal juga udah suka ma dia kan? Udah deh, tunggu aja, Valentine nanti, pasti kamu yang ditembak Dia,” jawab Nining.

“Iya Ang. Sambil nunggu dia, kamu kudu ngasi lampu ijo ke Angga, biar dia nggak ragu nembak kamu. Kalo kamu nggak bisa nunggu, terapin emansipasi, tembak dia duluan,” goda Karen.

“Ah, udah ah. Balik yuk, udah malem ni,” kata Anggrek, mencoba berkelit. Teman-temannya hanya bisa angkat bahu melihat kepasrahan Anggrek.

**

Nggak kerasa Valentine udah datang. Sejauh ini, Anggrek tetap merasa pesimis terhadap Angga. Namun hari ini, malam nanti, Anggrek berencana menyatakan perasaannya ke Angga, sambil ngasih coklat yang sudah dia pesan di toko kue langganannya. Bagi Anggrek, nggak masalah ditolak, yang penting Angga tau perasaannya. Di sekolah, teman-temannya pada berebut ngomongin gebetan masing-masing. Termasuk, empat sahabatnya, yang masing-masing udah punya cowok.

“Tunggu aja, hari ini pasti Angga nembak kamu. Dan besok pagi, kamu bakal teriak-teriak ke kita semua bahwa kamu udah jadian. Ya kan?” kata Cathy.

“Tenang Ang, kita bakal berdoa buat kamu. Ingat kata orang dulu, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” sambung Karen. Semua teman segengnya bergantian menyemangati dia.

Thanks banget ya temen-temen,” hanya itu yang keluar dari mulut Anggrek setelah turun dari mobil antar jemput sekolah.

**

”Ang, bangun! Ada yang mau mama bilang ke kamu,” terdengar suara lembut mama Anggrek. Ketika membuka mata, Anggrek melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah cemas, dikelilingi beberapa polisi. Dengan mata setengah terpejam, Anggrek melihat arlojinya menunjukkan pukul 19.00. “Oya, tadi sore aku tertidur waktu nonton TV,” batin Anggrek.

“Ada apa, Ma?” tanya Anggrek. Seorang polisi menghampirinya.

“Anggrek, apa kamu kenal dengan pria bernama Bagus Anggara Mukti?” tanya polisi itu dengan sopan. Mendengar nama Angga, mata Anggrek langsung terbelalak. Kantuknya pergi entah ke mana.

“Iya Pak, itu teman saya. Memangnya ada apa dengan dia, Pak?” tanya Anggrek panik. Meski sekilas, Anggrek sempat menangkap raut kesedihan dan iba di mata polisi itu. Anggrek tambah panik.

“Tolong, beri tau saya, ada apa?” Anggrek menuntut penjelasan ke semua orang yang ada di situ. Dilihatnya mama menahan air mata di kelopak matanya.

“Bu, kami rasa Ibu lebih bisa menjelaskan semua ini ke putri Ibu. Tolong Bu, kami mohon bantuannya,” ujar polisi tadi kepada mama, kemudian polisi-polisi itu keluar kamar.

“Pa, Ma, ada apa sih?” tanya Anggrek lagi. Papa dan mama duduk di sisinya.

“Sebelumnya, papa minta kamu tenang dulu,” kata papa. Kemudian papa dan mama terdiam sebentar.

“Sayang, Angga…Angga… dia sudah meninggal,” kata mama pelan. Anggrek tidak tau harus berkata apa. Dia terdiam sebentar sambil akhirnya tertawa getir.

“Nggak Ma, nggak mungkin Angga meninggal. Pa, Mama bercanda kan? Dia…dia…,” Anggrek tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Tangisnya langsung meledak. Melihat Anggrek seperti itu, papa dan mamanya menggeleng putus asa. papanya terlihat sangat cemas, sementara mamanya mulai menangis.

“Anggrek sayang, itu kenyataannya. Angga meninggal karena kecelakaan mobil pukul 18.05 tadi. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi dia hanya bisa bertahan selama 15 menit. Dia sempat menitipkan ini untuk kamu,” ujar papa pelan sambil menyerahkan sebuah kaset handycam pada Anggrek.

“Kata temannya yang diketahui baru dikunjungi sebelum dia kecelakaan, Angga berkata bahwa dia ingin menyampaikan perasaannya lewat kaset ini,” sambung mama. Dengan kepala pusing dan bersimbah air mata, Anggrek mencoba mencerna semua yang telah diucapkan papa dan mamanya. Dia menyetel kaset itu. Tampak wajah Angga, duduk di tepi kolam renang apartemen.

“Hai, Ang. Aku nggak mau ngomong panjang lebar di sini. Aku cuma mau ngomong, aku sayang kamu. Yang selama ini jadi incaranku itu kamu. Sejak kita ngobrol di tempat ice skating, aku udah respek sama kamu. Dan waktu kita makan steik bareng, saat itu aku sadar, aku sayaaang banget sama kamu. Sorry, aku hanya bisa ngucapin ini. Mungkin kamu nganggap aku nggak gentle, karena nyatain perasaan lewat kaset. Tapi inilah caraku untuk nunjukkin perasaanku ke kamu. Aku nggak mau maksa kamu, apapun jawabanmu akan aku terima. Aku cuma pengen kamu tau, bahwa selama ini Angga sayang sama kamu,” demikian yang diucapkan Angga dalam kaset itu. Mengetahui semua ini membuat hati Anggrek makin pedih. Wajah dan senyum Angga yang baru dilihatnya, membuat tangisnya makin menjadi.

“Angga, selama ini aku juga sayang sama kamu, aku sayang kamu, Ngga…” bisik Anggrek di sela tangisnya. Dalam pelukan papanya dan belaian mamanya, Anggrek menumpahkan segala tangis dan kesedihannya.

**

Minggu pagi pukul 10.00. Anggrek berdiri diam di samping pusara Angga. Sementara satu persatu orang yang hadir di pemakaman mohon pamit, menyalami keluarga Angga.

“Kenapa harus begini, Ngga? Kenapa?” bisik Anggrek sambil berlutut di samping pusara Angga. Dilihatnya papa dan mama sedang mengobrol dengan orang tua Angga. Di wajah mereka terlihat jelas raut sedih dan iba. Bu Sissy mendekati dan merangkul pundak Anggrek.

“Kamu tau, apa yang dilakukan Angga sebelum menghembuskan napas terakhirnya?” tanya Bu Sissy dengan sabar. Anggrek menggeleng.

“Yang saya tau, sebelum meninggal, dia menitipkan pesan untuk saya,” jawab Anggrek lirih. Bu Sissy tersenyum lembut.

“Dia tersenyum, Ang.” Anggrek mendongak, menatap wajah Bu Sissy dengan tak percaya. Terbayang olehnya wajah Angga yang bersimbah darah dan menahan sakit, tersenyum? “Setelah menitipkan pesan untukmu, Angga tersenyum, kemudian menutup matanya. Itulah senyum termanis Angga yang pernah Ibu lihat, senyumnya menunjukkan kesungguhan, seakan ingin menabahkan kita yang ditinggalkan. Dan Ibu yakin, kamu yang membuatnya tersenyum di saat-saat terakhirnya. Wajahnya damai sekali.” kata Bu Sissy sambil berusaha menahan tangis. “Jangan pernah kecewakan senyumnya, Ang,” lanjut Bu Sissy sambil menepuk bahu Anggrek dan berjalan menjauh. Anggrek menatap pusara Angga, kemudian tersenyum.

“Terima kasih untuk semuanya, Ngga. Berjanjilah, setiap mentari terbit, kamu akan memberikan senyuman termanis untukku, tersenyumlah dari surga,” ujar Anggrek tercekat. Kemudian Anggrek memandang langit, tersenyum lembut. “Senyummu memberiku semangat untuk menatap masa depan. Aku berjanji, akan tetap menyimpan namamu di hatiku sambil tetap menyongsong masa depanku sebaik-baiknya. Selamat jalan, Angga,” ujar Anggrek dalam hati masih dengan senyum termanisnya.

****

Siapa...???

Masih teringat jelas di benakku

Saat kugenggam erat tanganmu

Dan kupeluk mesra tubuhmu

Hingga akhirnya,

Ketika masa itu tiba

Kau beranjak ke Jakarta

Tinggalkanku yang bermandikan luka

Siapakah gerangan dirinya?

Yang membuat kita begitu merana

Terpisah jarak Jakarta-Yogyakarta

Siapa? Siapa? Siapa?

Irikah dia pada kemesraan kita?

Ataukah dia ingin hancurkan kebahagiaan kita?

Persetan siapapun dia!

Yang bisa disalahkan cuma kita berdua

Meski tak penting menunjuk siapa

Yang terpenting adalah,

Menunjukkan niat kita

Untuk memoles hubungan yang retak ini

digoreskan dengan tinta merah

di tengah gerimis pertama

di bulan September

Pentingnya Etika dan Nilai-Nilainya dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya.

Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.[2]

Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.[3]

Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.[4]

Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan. Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara ilmuwan dengan truth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.

Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu yang amat singkat.

Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.



[1] Achmad Charris Zubair, “Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia”, Lembaga Studi Filsafat Islam: Yogyakarta, 2002, h. 49.

[2] Ibid, h. 54-55.

[3] Program Pendidikan Perguruan Tinggi UI, Modul MPKT, PDPT Universitas Indonesia: Depok, 2007, h. 82.

[4] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, h. 168.

[5] Ibid, h. 170-171.

27 Desember 2007

PENGERTIAN KOMUNIKASI

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa latin communis yang berarti “sama”, communico, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang pa­ling sering disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata - kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal tersebut, seperti dalam kalimat “Kita berbagi pikiran”, “Kita mendiskusikan makna, dan “Kita mengirimkan pesan”.
Berbicara tentang definisi komunikasi, tidak ada definisi yang benar ataupun yang salah. Seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan dan mengevaluasinya. Beberapa definisi mungkin terlalu sempit, misalnya “Komunikasi adalah penyampai pesan melalui media elektronik”, atau terlalu luas, misalnya “Komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih sehingga para peserta komunikasi ini mungkin termasuk hewan tanaman, dan bahkan jin. Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai “berbagi pengalaman”. Sampai batas tertentu, setiap makhluk dapat dikatakan melakukan komunikasi dalam pengertian berbagi pengalaman.
Sebagaimana dikemukakan Johr R. Wenburg dan William W. Wilmot juga Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken, seti­daknya ada tiga pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu-arah, komunikasi sebagai in­teraksi, dan komunikasi sebagai transaksi.
Suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Misalnya, seseorang itu mempunyai informasi mengenai suatu masalah, lalu ia menyampaikannya kepada orang lain, orang lain mendengarkan, dan mungkin berperilaku sebagai hasil mende­ngarkan pesan tersebut, lalu komunikasi dianggap telah terjadi. Jadi, komunikasi dianggap suatu proses linier yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya.
Komunikasi sebagai tindakan satu arah
Pemahaman komunikasi sebagai proses searah ini oleh Michael Burgoon disebut sebagai “definisi berorientasi-sumber” (source-oriented definition) Definisi seperti ini mengisyaratkan komunikasi sebagai semua kegiatan yang secara sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan rangsangan untuk membangkitkan respons orang lain. Dalam konteks ini, komunikasi dianggap suatu tindakan yang disengaja (intentional act) untuk menyampaikan pesan demi memenuhi kebutuhan komunikator, seperti menjelaskan sesuatu ke­pada orang lain atau membujuknya untuk melakukan sesuatu. Definisi komunikasi demikian mengabaikan komunikasi yang tidak disengaja, seperti pesan yang tidak direncanakan yang terkandung dalam nada suara atau ekspresi wajah, atau isyarat lain yang spontan. Definisi-definisi berorientasi-sumber ini juga mengabaikan sifat prosesual interaksi-memberi dan menerima- yang menimbulkan pengaruh timbal balik antara pembicara dan pendengar. Singkatnya, konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu­-arah menyoroti penyampaian pesan yang efektif dan mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Beberapa definisi yang sesuai dengan konsep ini adalah sebagai berikut.
Bernard Berelson dan Gary A. Steiner:
“Komunikasi: transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi.”
Theodore M. Newcomb:
“Setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi terdiri dari rangsangan yang diskriminatif, dari sumber kepada penerima
Carl L Hovland:
“Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang mengubah perilaku orang lain (komunikate).”
Gerald R. Miller:
“Komunikasi terjadi ketika suatu kepada penerima dengan niat yang penerima.”
Everett M. Rogers:
“Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Raymond S. Ross:
“Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.”
Harold Lasswell:
(Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan A~ Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?”
Komunikasi sebagai interaksi
Konseptualisasi kedua yang sering diterapkan pada komunikasi interaksi. Pandangan ini menyetarakan komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergan­tung pada seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau anggukkan kepala, kemudian orang pertama bereaksi lagi menerima respons atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya.·
Komunikasi sebagai transaksi
Ketika anda mendengarkan seseorang yang berbicara, sebenarnya pada saat itu bisa saja anda pun mengirimkan pesan secara nonver­bal (isyarat tangan, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya) kepada pembicara tadi. Anda menafsirkan bukan hanya kata-kata pembicara tadi, juga perilaku nonverbalnya. Dua orang atau bebe­rapa orang yang berkomunikasi, saling bertanya, berkomentar, me­nyela, mengangguk, menggeleng, mendehem, mengangkat bahu, memberi isyarat dengan tangan, tersenyum, tertawa, menatap, dan sebagainya, sehingga proses penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding) bersifat spontan dan simultan di antara orang­ orang yang terlibat dalam komunikasi. Semakin banyak orang yang berkomunikasi, semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi. Bila empat orang peserta terlibat dalam komunikasi, akan terdapat lebih banyak peran, hubungan yang lebih rumit, dan lebih banyak pesan verbal dan nonverbal.
Dalam konteks ini komunikasi adalah suatu proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Penafsiran anda atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang anda kemukakan kepadanya juga mengubah penaf­siran orang lain tersebut atas pesan-pesan anda, dan pada giliran­nya, mengubah penafsiran anda atas pesan-pesannya, begitu sete­rusnya. Menggunakan pandangan ini, tampak bahwa komunikasi bersifat dinamis. Pandangan inilah yang disebut komunikasi sebagai transaksi, yang lebih sesuai untuk komunikasi tatap muka yang mungkinkan pesan atau respons verbal dan nonverbal bisa di­ketahui secara langsung.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah bahwa komunikasi tersebut tidak membatasi kita pada komunikasi yang disengaja atau respons yang dapat diamati. Artinya, komunikasi terjadi apakah para pelakunya menyengajanya atau tidak, dan bahkan meskipun menghasilkan respons yang tidak dapat diamati. Berdiam diri, mengabaikan orang lain di sekitar, bahkan meninggalkan ruangan, semuanya bentuk-bentuk komunikasi, semuanya mengi­rimkan sejenis pesan. Gaya pakaian dan rambut anda, ekspresi wajah anda, jarak fisik antara anda dengan orang lain, nada suara anda, kata-kata yang anda gunakan, semua itu mengkomunikasikan sikap, kebutuhan, perasaan dan penilaian anda.Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbalnya. Beberapa definisi yang sesuai dengan pemahaman ini adalah, antara lain:
John. R. Wenburg dan William W. Wilmot:
“Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna”
Donald Byker dan Loren J Andersou:
“Komunikasi (manusia) adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.”
William l. Gorden:
“Komunikasi secara ringkas dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.”
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson:
“Komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna.”
Stervart L. Tubbs dan Sylvia Moss:
“Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.” Klasifikasi Komunikasi tidak berlangsung dalam ruang hampa sosial melainkan pada situasi tertentu. Indikator paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi adalah berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi.
a. Menurut Kelompok Sarjana Komunikasi Amerika (Human Comm. 1980)
Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communications)
Komunikasi Kelompok (Group Communications)
Komunikasi Organisasi (Organizational Communications)
Komunikasi Massa (Mass Communications)
Komunikasi Publik (Public Communications )
b. Joseph A DeVito (Communicology 1982)·
Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communications)·
Komunikasi Kelompok Kecil (Small Group Communications)·
Komunikasi Publik (Public Communications)·
Komunikasi Massa (Mass Communications)
c. R. Wayne Pace (Techniques for Effective Communications, 1979)
Komunikasi dengan diri sendiri (Intrapersonal Communications)
Komunikasi antarpribadi (Interpersonal Communications)
Komunikasi khalayak (Audience Communications)
Penjelasan:
1. Intrapersonal Communications
• Proses Komunikasi yang terjadi dalam diri individu (dengan diri sendiri)• Terjadi karena terjadinya pemberian makna pada obyek. Obyek yang diamati mendapatkan rangsangan panca indra kemudian mengalami proses perkembangan dalam pikiran manusia.• Mendapatkan perhatian besar dari kalangan psikologi behavioristik.• Merupakan landasan untuk melakukan komunikasi antarpribadi. Keberhasilan komunikasi kita dengan orang lain bergantung pada keefektifan komunikasi kita dengan diri sendiri.
2. Interpersonal Communications
• Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang atau lebih secara tatap muka (R wayne Pace, 1979)
• Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah Komunikasi Diadik (Dyadic Communications) yaitu dengan karakteristik : Proses komunikasi yang berlangsung antara 2 orang dalam situasi tatap muka, dibagi atas percakapan, dialog, wawancara. Komunikasi diadik memkiliki ciri: Pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak dekat dan pihakpihak yang berkomunikasi mengirimkan dan menerima pesan secara spontan dan simultan.• Komunikasi antar pribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain.
3. Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut Contohnya seperti; keluarga, kelompok studi dan kelompok diskusi. Dapat juga terjadi pada kelompok kecil (small group communications)
4. Komunikasi Kelompok Kecil
Proses komunikasi yang berlangsung antara 3 orang atau lebih secara tatap muka dimana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain. Tidak ada jumlah batasan anggota yang pasti, 2-3 orang atau 20-30 orang tetapi tidak lebih dari 50 orang. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan pula komunikasi antarpribadi.
5. Public Communications
Komunikasi publik adalah proses komunikasi dimana pesan-pesan disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan khalayak yang lebih besar dan tidak dikenali satu persatu. Disebut juga sebagai komunikasi kelompok besar (large group comm.), komunikasi pidato, komunikasi retorika, public speaking. Berlangsung secara lebih formal, dituntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan keahlian menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik, keahlian dan kejujran pembicara dapat menentukan efektifitas penyampaian pesanCiri-ciri Komunikasi Publik• Satu pihak (pendengar ) cenderung lebih pasif.• Interaksi antara sumber dan penerima terbatas• Umpan balik yang diberikan terbatas• Dilakukan di tempat umum seperti di kelas, auditorium, tempat ibadah.• Dihadiri oleh sejumlah besar orang• Biasanya telah direncanakan• Sering bertujuan untuk memberikan penerangan, menghibur, memberikan penghormatan dan membujuk
6. Organizational Communications
Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal dan informal, dan berlangsung dalam jaringan komunikasi yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. Melibatkan komunikasi diadik, komunikasi antar pribadi dan komunikasi publik. Komunikasi formal adalah menurut struktur organisasi yaitu komunikasi ke bawah dan ke atas serta komunikasi horizontal. Komuniksi informal tidak tergantung pada struktur organisasi seperti komunikasi dengan sejawat, termasuk juga gosip.
7. Mass Communications
Adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Proses komunikasi yang berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanik seperti; radio, televisi, surat kabar dan film. Pesan-pesan bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). Komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini.
Ciri-ciri Komunikasi Massa• Sifat pesan terbuka• Khalayak variatif baik dari segi usia,agama, suku, pekerjaan maupun dari segi kebutuhan• Sumber dan penerima dihubungakan oleh saluran yang diproses secara mekanik• Sumber merupakan suatu lembaga atau institusi• Komunikasi berlangsung satu arah• Umpan balik lambat (tertunda) dan sangat terbatas. Dengan kemajuan teknologi, saat ini sudag lebih dapat teratasi• Sifat penyebaran pesan yang berlansung cepat dan serempak serta luas mampu mengatasi jarak dan waktu. Dapat bertahan lama bila didokumentasikan• Dari segi ekonomi biaya untuk memproduksi komunikasi massa cukup mahal dan memerlukan dukungan tenaga kerja yang relatif banyak untuk mengelolanya
Komunikasi massa menurut De Vito (1996) adalah milik umum, setiap orang dapat mengetahui pesn-pesan komunikasi melalui media massa, karena komunikasi berjalan cepat maka pesan yang akan disampaikan kepada khalayak silih berganti tanpa selisih waktu.Unsur – unsur dalam komunikasia. Sumber ( Source ) : Pihak yang berinisiatif atau berkebutuhan untuk berkomunikasi, bisa seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan, dll.b. Pesan (Massage) : Apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat symbol verbal dan/ atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber tadi.c. Saluran/Media (Channel) : alat/ wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.d. Penerima (Receiver) : Orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan. Penerima pesan ini menerjemahkan/ menafsirkan seperangkat symbol verbal dan/ atau non verbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat ia pahami.e. Efek (Effect) : Apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut.f. Proses Encoding: Adalah proses pemilihan symbol/alat angkut pesan. Dilakukan oleh Pengirim pesan.

MAAFKAN AKU CHIKA

Bel jam masuk berdering. Chika bergegas menuju ke kelasnya yang terletak di ujung koridor. Ya, hari Senin adalah hari yang sangat dibenci oleh anak-anak SMA Nostradamus, termasuk Chika, gadis manis yang sangat “digemari” oleh segala macam tipe cowok. Mulai dari yang culun, romantis, sok puitis, narsis, bahkan hingga yang reformis. Sudah banyak cowok yang menyatakan cinta dengan berbagai cara, tetapi dengan sigap, Chika menangkis semua panah-panah asmara yang menuju kepadanya.
Pada jam pertama ini, Matematika akan mengawali penderitaan panjang para murid di hari Senin. Guru killer asli negara tetangga kita, China, yang bernama Ju Xing, memasuki kelas Chika dengan langkah santai tetapi mampu membuat kaki meja dan kaki murid-murid bergetar kencang bak vibrator.
”Selamat pagi anak-anak! Bagaimana? Soal-soal latihan 600 nomor yang saya berikan minggu lalu sudah selesai bukan?” sapa Pak Ju Xing mengawali pertemuan “indah” di pagi itu.
“Sudaahh Paakk!!!” teriak seluruh murid kompak.
“Baik. Hari ini Bapak punya kabar gembira,” kata Pak Ju Xing dengan muka yang sangat kusut, “Kalian akan mendapat teman baru. Dia pindahan dari Bogor,” lanjut beliau.
“Indra, silakan masuk,” panggil Pak Ju Xing pada sosok pria jangkung di luar kelas, “perkenalkan dirimu di depan kelas.”
Cowok bernama Indra berjalan perlahan menuju ke depan kelas. Tingginya sekitar 180cm, badannya juga cukup berisi. Wajahnya lumayan cakep, hanya sayang, air mukanya tampak selalu dingin. Seragam OSISnya sengaja dikeluarkan, menambah kesan keren pada dirinya. Chika yang biasanya anti melirik cowok pun terpana ketika Indra memasuki kelas.
“Hai. Gue Indra,” katanya memperkenalkan diri.
“Hai juga Indra! Udah punya cewek belum? Aku mau kok jadi cewekmu!” seru Ratna genit.
“Hiih, dasar kegatelan! Mendingan juga gue daripada elo!” sahut Mesty.
“Eh..eh..ehh, yang ada juga mendingan gue dong!” timpal Rani tak mau kalah.
“DIIIAAAAAAM!!!” bentak Pak Ju Xing, “kita mulai pelajarannya sekarang. Indra, silakan duduk di sebelah Chika.”
Indra pun duduk di sebelah Chika. Chika sedikit salah tingkah ketika Indra duduk di sebelahnya. Mereka pun berkenalan. Ketika pelajaran dimulai, mereka bukannya memperhatikan Pak Ju Xing, tetapi malah asik bercerita tentang sekolah asal Indra. Chika pun juga bercerita tentang keadaan di SMA Nostradamus. Walaupun tampangnya dingin, tetapi sebenarnya Indra cukup mengasyikkan ketika diajak ngobrol. Chika pun semakin tertarik pada Indra.
“Eh, kita ke kantin bareng yuk,” ajak Indra ketika bel istirahat berbunyi.
“Aku udah janjian mau ke kantin sama temen-temen sih. Mmm..gimana kalo kamu gabung sama temen-temenku aja?” tawar Chika.
“Gitu juga boleh deh. Sekarang kan?” sahut Indra.
“Nggak! Tahun depan aja! Ya sekarang lah,” balas Chika sambil tertawa terbahak-bahak.
Hari itu, Indra pun makan di kantin bersama Chika dan teman-temannya. Demikian pula hari-hari selanjutnya hingga tak terasa mereka pun menjadi semakin akrab. Indra sering mengantar Chika pulang, Chika pun selalu mengajak Indra bila dia ingin ke toko buku atau sedang mencari bahan tugas sekolah. Banyak cowok yang iri melihat keakraban mereka.
“Gila! Apa sih yang diliat sama Chika? Tu anak baru perasaan tampangnya juga biasa-biasa aja. Tapi kenapa bisa bikin Si Chika kepincut gitu ya?” tukas Rainbow, cowok paling ganteng dan keren di sekolah.
Ya, memang banyak pria tampan yang dibuat patah hati sejak kedatangan Indra ke sekolah itu. Padahal Indra selalu bersikap biasa, nggak pernah ada maksud untuk tepe-tepe alias tebar pesona. Mungkin sikap cool-nya itulah yang mampu membuat Chika kelepek-kelepek.
Dua bulan kemudian, mereka berdua semakin akrab, bahkan bisa dibilang mesra. Dimana ada Chika, selalu ada Indra. Namun, mereka masih tetap bersahabat hingga akhirnya pada suatu sore sehabis Chika selesai latihan basket, Indra mengajak Chika ke suatu tempat di daerah Bogor. Di sana mereka berdua dapat melihat bintang-bintang di langit dengan jelas sekaligus melihat pemandangan kota yang bertaburan lampu.
“Ini namanya Bukit Bintang. Di sini kita bisa ngliat bintang-bintang di langit. Asal nggak hujan lho,” kata Indra sembari bercanda.
“Wah, keren banget Ndra!” seru Chika takjub.
“Iya. Aku sendiri yang menamai bukit ini. Aku waktu kecil sering main disini. Soalnya rumahku nggak jauh dari sini sih,” tambah Indra menjelaskan.
“Masa sih? Keren banget!” seru Chika masih dengan nada tak percaya. “Tapi ngeri. Di bawah jurangnya dalem banget,” lanjutnya.
“Nggak usah takut. Kan ada aku disini. Nggak mungkin lah, aku biarin kamu jatuh ke bawah,” sahut Indra menenangkan.
“Oh iya, aku mau bilang sesuatu,” kata Indra lagi, “Sebenernya sejak awal kita kenalan, aku udah ngrasa suka sama kamu. Dan sekarang rasa itu udah berubah jadi sayang. Mmm... kamu mau jadi pacarku nggak?”
Chika bena-benar kaget. Dia sama sekali tidak menyangka, Indra akan menyatakan cintanya secepat itu. Dia sebenarnya masih ingin berteman dengan Indra untuk beberapa waktu lagi. Memang dia merasa sayang pada Indra, tapi dua bulan dirasanya terlalu cepat untuk menjalin kisah cinta mereka. Di satu sisi Chika ingin memiliki Indra, namun di sisi lain Chika belum siap berpacaran dengan Indra.
“Mmm... Gimana ya Ndra? Kayaknya nggak bisa jawab sekarang deh,” jawab Chika gugup, takut jika Indra akan marah.
“Kenapa Chika? Aku kan sayang banget sama kamu,” ucap Indra lirih tapi penuh harap.
“Bukan masalah itu Ndra. Aku juga sebenernya sayang sama kamu. Tapi kita baru kenal dua bulan, dan aku belum cukup mengenal kamu. Aku nggak mau tergesa-gesa pacaran, aku nggak mau pacaran kalo akhirnya cuma tahan bentar,” jelas Chika.
“Kamu nggak percaya sama aku? Aku bener-bener sayang kamu Chika. Aku akan selalu jagain kamu, aku akan selalu setia sama kamu. Please Chika!” pinta Indra memelas.
“Aku percaya kok. Tapi tolong, kasi aku waktu sebulan sampai dua bulan lagi biar aku bisa lebih ngerti kamu,” Chika berusaha menolak sehalus mungkin.
“Tapi Chika......”
Kata-kata Indra terhenti. Suasana menjadi benar-benar hening. Chika bertambah takut. Insting kekanak-kanakannya mengisyaratkan Indra akan marah besar dan mencelakai dirinya. Bersamaan dengan itu, Indra juga mulai melangkah mendekati Chika dengan langkah gontai. Chika semakin takut, jantungnya berdegup sangat kencang hingga dadanya sesak, kakinya pun gemetaran tak terkendali. Dia ingin sekali berteriak meminta pertolongan. Badan Indra sudah hampir menempel ke tubuh mungil Chika, wajahnya pun sudah semakin dekat hingga Chika bisa merasakan deru hembusan nafas Indra. Dan ketika mulutnya terbuka hendak mengeluarkan suara, dia tercengang. Mata Indra memerah dan berair. Beberapa tetes diantaranya mengalir pelan di pipinya. Tak lama kemudian, terdengar suara isakan. Ya, Indra menangis, dia lalu menyandakan kepalanya ke bahu Chika. Chika terheran-heran, kemudian tersenyum geli karena semula dia mengira Indra akan murka. Chika kemudian mengelus kepala Indra mencoba menenangkan cowok itu.
“Kamu kenapa Ndra? Kok tiba-tiba nangis gini?” tanya Chika halus.
“Aku teringat lagi sama cewek yang aku sayang dulu. Aku sayang banget sama dia, tapi dia nggak suka aku dan pergi ninggalin aku,” jawab Indra masih sesenggukan.
“Ssstt... Udah Ndra, nggak usah diinget-inget terus. Memangnya cewek itu pergi kemana? Lagian aku nggak akan ninggalin kamu kan. Kita kan satu sekolah,” desah Chika perlahan.
“Nggak mungkin! Kamu juga akan ninggalin aku. Disini, di tempat ini, di tempat yang sama sewaktu Rissa ninggalin aku,” jawab Indra dengan nada suara yang semakin meninggi.
“Hah? Nggak Ndra, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji mau jadi pacarmu, tapi nggak sekarang. Jawab dulu dong pertanyaanku yang tadi, dia emang pergi kemana?” Chika kembali bertanya.
“Ke dasar jurang itu,” jawab Indra dingin sembari tangannya mendorong badan Chika ke jurang di depannya.
“Aaaaaaaaa........!!” jerit Chika ketika badannya melayang di kegelapan malam. Suaranya bergema di jurang itu hingga akhirnya terhenti ketika tubuh Chika menghantam dasar jurang.
“Maafkan aku Chika. Aku sayang kamu, tapi kamu nggak mau menerima cintaku. Aku terpaksa mengantar kamu ke tempat Rissa yang juga menolak cintaku. Selamat menanti di dasar gelap itu,” kata Indra lebih dingin dari sebelumnya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan Bukit Bintang tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Tak pernah ada yang mengetahui berita kematian Rissa dan Chika. Hilangnya mereka pun meninggalkan misteri bagi orang-orang yang ditinggalkan. Tubuh mereka yang belum ditemukan tersebut masih bertahan di dasar jurang yang gelap, menanti Indra kembali datang dan menyatakan cinta kembali.

LAGAK JAKARTA: SEGUDANG KRITIK YANG MENGGELITIK

Tanggal 10 November 2007 lalu, Kepustakaan Populer Gramedia meluncurkan ulang serial kartun Lagak Jakarta, karya Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad. Serial yang pertama kali terbit di tahun 1997 tersebut sebenarnya berjumlah 6 buku, yaitu Trend dan Perilaku, Transportasi, Profesi, Krisis Oh Krisis, Reformasi, Hura-Hura Pemilu 99. Namun dalam edisi koleksi yang ini, keenamnya dilebur menjadi 2 buku. Buku I berisi tiga judul, Trend dan Perilaku, Transportasi, dan Profesi. Sedangkan buku II berisi Krisis Oh Krisis, Reformasi, dan Hura-Hura Pemilu 99.

Buku ini menceritakan Jakarta sebagai potret kehidupan yang penuh warna. Di sana tersimpan mimpi-mimpi, ambisi, dan harapan. Di sana pula terukir kisah-kisah kegetiran dan kebahagiaan anak manusia, yang terkadang penuh ironi, satire, aneh, dan menggelikan. Lewat Lagak Jakarta Benny dan Mice melaporkan semua itu sebagai reportase sosial.

Hal yang paling menarik dari komik ini adalah bagaimana kedua penciptanya berhasil menangkap segala detail dan hal-hal kecil yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Jakarta. Contohnya, bagaimana seorang karyawan yang malu ketika terlihat naik ojek ke kantor kemudian berlagak akrab dengan tukang ojeknya agar disangka diantar teman dan bukan tukang ojek. Diceritakan pula kebingungan masyarakat yang dihadapkan pada krisis moneter 1997. Tempe goreng pun ikut terkena imbasnya. Sebelum krisis tebal tempe goreng mencapai 4mm, tetapi setelah krisis tinggal 2mm. Kekonyolan-kekonyolan di balik peristiwa sehari-hari yang ada pada masyarakat Jakarta hampir terekam seluruhnya.

Namun demikian, untuk level komik yang identik dengan bacaan ringan, bahasa yang dipakai oleh Benny dan Mice terkadang agak “tinggi” dan tidak bisa dicerna dengan mudah terutama oleh kalangan anak-anak. Akan tetapi, secara keseluruhan buku ini sangat bagus. Benny dan Mice menuangkan dengan baik kehidupan masyarakat Jakarta ke dalam gambar-gambar kartun mereka.

Perbedaan mendasar antara 2 buku ini dengan keenam buku sebelumnya terletak pada penokohannya. Tidak seperti buku-buku sebelumnya yang memasang Benny dan Mice sebagai tokoh utama, kedua buku ini justru mengangkat kisah dan berita terkini dari peristiwa-peristiwa yang terjadi antara tahun 1997-2007. Jadi di balik kelucuan dan kekonyolan buku ini, Benny dan Mice yang juga lulusan Desain Grafis Fakultas Seni Rupa IKJ ini mampu memberi sindiran, bahkan hantaman keras yang ditujukan bagi banyak orang. Tidak hanya para pemimpin orde baru, tetapi juga para pendatang baru di kancah politik nasional.

Sangat disayangkan jika Anda belum membaca buku ini, karena buku ini mampu mengocok perut para pembacanya. Hanya dengan 76.000 rupiah, Anda akan mendapat 2 buku yang siap membuat Anda terbahak-bahak oleh kekonyolannya serta bonus 2 buah pin. Jadi, tunggu apa lagi? Selamat membaca dan tertawa terbahak-bahak.