30 Desember 2007

Pentingnya Etika dan Nilai-Nilainya dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya.

Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.[2]

Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.[3]

Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.[4]

Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan. Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara ilmuwan dengan truth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.

Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu yang amat singkat.

Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.



[1] Achmad Charris Zubair, “Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia”, Lembaga Studi Filsafat Islam: Yogyakarta, 2002, h. 49.

[2] Ibid, h. 54-55.

[3] Program Pendidikan Perguruan Tinggi UI, Modul MPKT, PDPT Universitas Indonesia: Depok, 2007, h. 82.

[4] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, h. 168.

[5] Ibid, h. 170-171.

Tidak ada komentar: