30 Desember 2007

Senyum Anggrek

Secepat kilat Anggrek berlari menyusuri koridor apartemen tempat tinggalnya. Dengan tangan gemetar, ditekannya tombol lift. Semenit kemudian, pintu lift pun terbuka. Anggrek melangkah memasuki lift yang kosong itu, dan cepat-cepat ditekannya tombol bertuliskan “Lobby”.

Sepuluh, sembilan, delapan, satu demi satu lantai dilewati. Anggrek mencoba mengatur napas, namun kembali panik ketika melihat arlojinya mengarah pada pukul 13.15. Seperempat jam lagi latihan ice skating-nya akan dimulai, sementara sekarang gadis cantik itu masih berdiri manis di dalam lift.

Anggrek baru ingat, minggu lalu Bu Sissy, pelatihnya, berkata bahwa beliau berhalangan hadir pada latihan hari ini karena harus menghadiri wisuda kelulusan putrinya yang bersekolah di Belanda. Namun, minggu lalu Bu Sissy tidak menyebutkan siapa penggantinya.

“Uh, sial bener! Udah pelatihnya baru, akunya terlambat lagi! Gara-gara rapat pengurus majalah sekolah yang tadi molor banget ni!” gerutu Anggrek.

Ting, lift pun berhenti dan membuka di lantai 5. Seorang cowok jangkung memasuki lift. Ternyata tujuannya juga ke lobi, terbukti karena dia tidak jadi menekan tombol ketika dilihatnya tombol “Lobby” sudah menyala. Hmmm….wajahnya lumayan juga. Umurnya paling antara 20-25 tahun. Tingginya sekitar 170-175cm. Dia mengenakan jaket training dipadu celana sporty warna biru tua. Di pundaknya terdapat tas besar warna hitam.

Sorry, Kakak penghuni baru di sini?” sapa Anggrek mencoba mematahakan suasana kaku di antara mereka. Cowok itu menoleh.

“Maaf, tadi kamu bilang apa?” tanya cowok itu sopan pada Anggrek.

“Apa Kakak penghuni baru di sini? Saya dari kecil tinggal di apartemen ini, jadi bisa dibilang saya tau mana penghuni lama dan penghuni baru di sini. Nah, saya belum pernah lihat Kakak sebelumnya,” Anggrek menjelaskan.

Cowok itu tersenyum lalu menjawab, “Oh… Bukan kok, saya bukan penghuni baru. Memang sih saya belum lama tinggal di sini, baru sekitar tiga bulan gitu deh.”

“Oh…,” Anggrek menganggukkan kepalanya. Ketika hendak bertanya lagi, lift sudah sampai di lobi. Anggrek langsung berlari keluar lift, secepat kilat Ia memasuki mobilnya yang sudah terparkir di parkiran depan lobi, kemudian memacunya.

**

Pukul 14.00, Anggrek langsung berlari menaiki eskalator mal tempatnya berlatih ice skating. Begitu tiba di gelanggang ice skating, Anggrek bergegas menuju ruang ganti untuk bersiap diri. Setelah itu, Dia meluncur ke tengah gelanggang dan langsung disambut Karen, sahabatnya di sekolah dan di tempat latihan ice skating.

“Aduh Non, ke mana aja sih? Kirain kamu nggak dateng. Latiannya udah mulai lima belas menit yang lalu tau!”

“Iya nih, kamu tadi pulang duluan sih, nggak ikut rapat majalah sekolah yang lama buanget, udah gitu molor pula mulainya. Yah,untung aja…,” tiba-tiba kalimat Anggrek terhenti. “Eh, kalo baru mulai lima belas menit yang lalu, berarti mulainya terlambat donk, Ren?”

“Iya tuh, penggantinya Bu Sissy juga tadi telat. Tapi orangnya lumayan juga lho, cute banget deh,” ujar Karen dengan mata berseri.

Anggrek tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang konyol ini. “Oh, jadi pelatihnya cowok ni? Yang mana sih?” tanya Anggrek penasaran.

Karen menunjuk ke tengah gelanggang, “Itu tuh, yang pake baju putih, lagi meluncur sama Riani dan Hega.”

Anggrek memandang ke arah yang ditunjuk Karen. Mulanya Dia mencari-cari Riani dan Hega. Dilihatnya Riani, Hega, dan pelatih baru itu. Lho, itu kan…

”Ren, percaya ato nggak, tu cowok tinggal satu apartemen sama aku!” pekik Anggrek. Ya, cowok itu kan yang satu lift dengannya tadi.

“Hah, yang bener aja Ang? Kamu yang salah liat kali, mungkin yang kamu liat cuma orang yang mirip dia,” ujar Karen sangsi.

“Eh, kamu nggak percaya? Tadi tu cowok turun ke lobi pakai lift yang sama ma aku. Dia tadi…” belum sampai Anggrek menyelesaikan kalimatnya, pelatih baru itu udah meluncur ke arah mereka berdua.

“Sepertinya kamu telat ya? Waktu datang tadi, sepertinya saya nggak liat kamu. Apartemen tempat tinggal kita emang rada jauh ya, jadi ya saya maklum, saya sendiri tadi juga telat,” ujar pelatih baru itu panjang lebar. Dari sudut matanya, Anggrek melihat wajah Karen yang sangat terkejut.

“Maaf ya, Pak, saya telat,” Anggrek meminta maaf dengan sopan. Dipanggil seperti itu, pelatih baru itu tertawa geli.

“Jangan panggil saya ‘Pak’ donk. Saya kan jadi ngrasa tua. Umur saya dengan kamu paling hanya terpaut 3-4 tahun. Usia saya baru 21 lho.”

Anggrek tidak menyangka jawaban itu dan bertanya dengan polosnya, ”Lalu saya harus panggil apa donk?”

Pelatih baru itu mengulurkan tangannya. “Nama saya Bagus Anggara Mukti, panggil aja Angga. Lagian kamu nggak perlu minta maaf lah, kan kita sama-sama telat. Tapi ya semoga di latian selanjutnya kita nggak telat lagi ya.”

Anggrek menyambut jabatan tangan itu dan memperkenalkan dirinya pada Angga. Geli juga ketika dilihatnya wajah Karen yang mendadak berubah seperti orang blo’on. Sejenak mereka bercakap-cakap, sampai terdengar suara cempreng Saskia, murid paling norak dan nyebelin di situ.

“Kak Angga, masak yang diajarin dan diajak ngobrol cuma Karen sama Anggrek. Kan yang lainnya juga pengen ngobrol sama Kakak…” ujar Saskia dengan manjanya sambil menarik tangan Angga menjauh dari Karen dan Anggrek. Sebelum meluncur menjauh, Angga masih tersenyum pada Anggrek. Anggrek dan Karen sudah meluncur bareng di gelanggang sekarang.

“Wah Ang, aku bener-bener nggak nyangka, makhluk ganteng itu tinggal satu apartemen sama kamu. Beruntung banget kamu, punya tetangga satu rumah macam dia. Tiap hari bisa liat dia, enak bangeet…” Anggrek tersenyum mendengar kekaguman Karen, yang seakan rela melakukan apa saja untuk bisa bertukar tempat dengan Anggrek.

“Aku juga baru tau siang ini, Ren. Kalo nggak pas aku satu lift ma dia, aku juga nggak bakal tau dia tetanggaku di apartemen. Tapi kamu kok terkagum-kagum gitu sih, biasa aja kaleee...” ujar Anggrek menirukan kalimat yang sering diucapkan Karen.

“Eh ni anak, kamu nyadar nggak sih, Angga tu cakep banget? Udah cakep, tinggi, sopan, omongannya halus, ramah, wah pokoknya perfect deh, tipe cowok idaman semua cewek,” ucap Karen dengan pandangan menerawang ke arah Angga.

“Iya aku juga tau, Ren. Kalo kamu suka ma dia, pe-de-ka-te donk, kan kamu jagonya,” ucap Anggrek geli.

Wajah Karen makin cerah, tapi sesaat kemudian mendung. “Iya sih, bisa aja aku pedekate sama dia, tapi nggak ah, Dia kayaknya udah naksir duluan sama kamu sih. Kamu nyadar nggak, cara dia natap kamu, cara dia kenalan sama kamu, cara dia ngomong sama kamu. Wah, nggak diraguin lagi deh. Percaya sama aku, aku kan udah berpengalaman,” ujar Karen bangga, yang diikuti tawa Anggrek.

“Ren…Ren… Ada-ada aja kamu ni. Nggak mungkin lah dia suka ma aku, ketemu juga baru siang ini. Ih berkhayal ya kamu, hahaha…” Anggrek masih terus tertawa.

“Terserah kamu deh Ang, tapi aku yakin, penglihatanku nggak mungkin salah lho. Kalo tadi dia nggak ditarik Saskia, dia pasti masih berdiri manis di depan kamu sekarang,” ujar Karen lagi.

Anggrek tertawa. “Udah ah, kamu tu sukanya ngomong yang nggak-nggak ya.”

**

Pukul 16.30, Anggrek sudah berjalan di pelataran parkir sambil menenteng perlengkapan ice skating-nya. Baru saja dia hendak membuka pintu mobilnya, ketika dilihatnya Angga sedang berjongkok di samping sebuah Mercedes sports coupe terbaru.

“Keren banget mobilnya…” komentar Anggrek dalam hati. Masih menenteng tas, Anggrek berjalan menghampiri Angga.

“Mobil kamu? Ngadat ya?” tanya Anggrek sambil berdiri tepat di belakang Angga. Spontan Angga menoleh.

“Hai Ang, nggak sih, cuma bannya kempes banget, padahal apartemen kita kan jauh, kayaknya nggak bisa dikendarai sampe apartemen deh. Apesnya, aku lupa bawa ban serep. Duh, bingung deh,” ujar Angga putus asa.

“Coba aku lihat,” kata Anggrek sambil berjongkok di samping Angga. “Wah, ini sih parah, Ngga. Hmm, gini aja, kamu ikut aku aja ke apartemen. Nanti kamu bisa ambil ban serep dan perlengkapan ganti ban, terus balik lagi ke sini naik taksi. Gimana?” Anggrek menawarkan solusi. Dia nggak sadar kalo waktu itu mata Angga mengerjap kaget.

“Hah, beneran boleh ni? Wah makasiiih banget ya Ang, nggak tau deh gimana jadinya kalo kamu nggak ngasih tumpangan,” Angga menyambut baik tawaran Anggrek.

“Ya udah yuk cepetan, mobilku di sana tuh!” ajak Angrek sambil menunjuk mobilnya. Setelah mengunci mobilnya sendiri, Angga mengikuti Anggrek menuju mobilnya.

“Aku aja yang nyetir ya, biar kamu nggak capek nyetir ke apartemen,” ujar Angga, dan Anggrek pun mengiyakan. Sesaat kemudian mobil Anggrek sudah meluncur di jalan raya, sementara Angga dan Anggrek mengobrol ringan.

**

Pukul 17.30, mereka sudah berdiri di dalam lift, menunggu benda itu membawa mereka naik ke lantai tempat kamar mereka berada. Lift berhenti dan membuka di lantai tiga. Angga keluar dari lift.

“Ok, makasi banget ya Ang, see you next time,” kata Angga sambil melambaikan tangan.

“Bye…” balas Anggrek sambil tersenyum. Namun ketika pintu lift hendak menutup, Angga cepat-cepat menahan pintu itu dengan tubuhnya.

“Ang, kamu tinggal di lantai berapa, kamar nomer berapa? kita kan tinggal satu atap, masak nggak tau tempat tinggal tetangga sendiri?” ujar Angga.

Anggrek tersenyum lebar mendengar Angga. “Aku di lantai 11, kamar nomer 1103. Kalo kamu?”

“Aku di kamar 313, kapan-kapan mampir ya,” jawab Angga. Anggrek mengangguk, dan lima belas detik kemudian pintu lift menutup, membawa Anggrek ke lantai 11. Anggrek tidak menyadari, dia masih tersenyum sejak Angga turun dari lift.

**

Setengah jam kemudian, ketika Anggrek baru selesai mandi, terdengar suara bel di pintu kamarnya. Anggrek cepat-cepat membuka pintu, dan disambutnya mamanya yang baru pulang dari kantor.

“Halo sayang, gimana kegiatan kamu hari ini?” tanya mama sambil merangkul Anggrek dan mengecup pipinya.

Anggrek tersenyum lebar menyambut mamanya. “Semua lancar, Ma. Mama sendiri kerjaannya di kantor gimana?”

“Yah, seperti biasa, sibuk, tapi semuanya juga lancar kok, sayang, Papa belum pulang ya?” tanya mama sambil merebahkan badan di sofa.

“Iya, belum Ma, mungkin sebentar lagi. Mama mau mandi, Anggrek siapin airnya ya,” ujar Anggrek yang disambut anggukan mamanya. Anggrek paham betul kesibukan orang tuanya. Sebagai pengusaha real estate yang memiliki jam kerja cukup tinggi, mama dan papa Anggrek tampak seperti orang tersibuk di dunia bagi Anggrek. Namun Anggrek bersyukur, karena itulah keluarganya memiliki hidup berkecukupan seperti sekarang ini. Dan yang membuat Anggrek salut, kedua orangtuanya tetap bisa meluangkan waktu bagi keluarga.

Ketika mamanya mandi, Anggrek berpikir betapa inginnya kelak dia memiliki keluarga seperti keluarganya ini. Saat memikirkan itu, wajah Angga berkelebat di benaknya. Anggrek langsung menggeleng keras-keras. “Aku ini mikir apaan sih!” ujarnya pada diri sendiri.

**

Sabtu siang sepulang sekolah. Jam menunjukkan pukul 13.50. Anggrek baru turun dari mobil antar jemput sekolah.

Bye… Jangan lupa nanti malem ya, Ang!” seru teman-teman se-gank-nya dari dalam mobil.

“Tenang aja guys, kalo aku terlambat, paling cuma terlambat satu jam,” ujar Anggrek sambil tertawa, diikuti protes teman-temannya. Setelah mobil antar jemput berlalu, Anggrek masuk ke dalam apartemennya. Ketika sedang menunggu lift, Anggrek mendengar seseorang memanggil namanya. Ternyata Angga.

“Wah, apa kabar nih? Udah seminggu kita nggak ketemu ya. Tadinya aku mau keluar makan siang, begitu liat kamu, aku ada ide. Gimana kalo kita makan siang bareng? Kamu pasti belum makan kan?” Angga menawarkan. “Itu juga kalo kamu mau, kalo kamu nggak mau juga nggak apa kok,” lanjutnya. Anggrek terdiam sejenak.

“Ok deh, kebetulan juga aku udah laper banget ni,” jawab Anggrek ceria. Angga tersenyum, kemudian mereka berjalan menuju mobil Angga. “Kenapa aku deg-degan ya?” tanya Anggrek dalam hati.

**

Sejenak kemudian, mereka sudah melaju di jalan raya.

“Kamu mau makan di mana?” tanya Angga.

Anggrek terdiam sejenak. “Hmmm, kamu mau makan steik nggak?”

Angga tersenyum. “Oh, itu sih makanan favoritku. Kamu mau makan steik? Aku tau restoran steik yang enak. Bentar ya.” Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di restoran yang dimaksud Angga.

“Belum pernah makan di sini ya? Steiknya enak banget lho, kamu wajib coba,” ujar Angga melihat ekspresi heran di wajah Anggrek.

“Iya, aku malah nggak tau kalo ada restoran senyaman ini di sini,” jawab Anggrek.

Mereka kemudian memesan menu yang sama, yaitu steik andalan restoran itu. Sambil menunggu pesanan mereka disajikan, Anggrek dan Angga mulai mengobrol.

“Kamu anak SMA kan? Di SMA mana, kelas berapa?” tanya Angga.

“Aku di SMA Putra Bangsa, kelas 3. Kamu sendiri, kuliah di mana?” Anggrek balik tanya.

“Wah, SMA favorit tu, berarti kamu pinter ya. Dah mau ujian kan, rencananya mau kuliah di mana? Kalo aku, semester 6 di kedokteran UI,” jawab Angga.

Anggrek memandang Angga dengan kagum. “Wah, kamu pinter banget ya, bisa di UI, kedokteran lagi. Gileee beneeer… Aku tadinya juga mikir mau ambil kedokteran, tapi kayaknya aku nggak cocok jadi dokter. Aku nggak tahan liat darah ato luka-luka yang terlalu parah gitu. Mungkin aku mau ambil arsitektur aja deh.”

“Wow, keren ni calon arsitek. Kakakku juga arsitek, aku kagum bener deh liat para arsitek itu. Dulu aku juga pengen ambil arsitek, tapi masalahnya aku nggak pinter gambar, hahaha…” Angga membuat Anggrek tertawa dengan ceritanya. Sejenak kemudian pesanan mereka datang.

“Apa yang buat kamu pengen jadi dokter?” tanya Anggrek sambil menuangkan saus ke atas steiknya. Angga mendongak, dan terdiam sebentar.

“Nggak tau juga, aku mikir mau jadi dokter juga pas kelas 3 SMA. Sebelumnya, aku pengen banget jadi arsitek. Waktu SMP, aku pengen jadi pengacara, seperti papa dan mamaku. Waktu SD, aku pengen jadi pilot. Alesannya sederhana, aku pengen keliling dunia. Sebelumnya, aku juga pernah pengen jadi presiden, biar aku bisa jadi penguasa semua orang, hihihihi… Waktu kelas 3 SMA, aku jadi terpikir untuk ke dunia kesehatan Aku pengen bisa jadi ‘obat’ buat semua orang, termasuk buat keluarga dan pacarku.” Mendengar kata ‘pacar’, Anggrek merasa sesak.

“Pacar? Kamu udah punya pacar ya?” tanya Anggrek pelan.

“Belum ada. Waktu kelas 2 SMA, aku punya cewek, namanya Melly. Anaknya biasa aja, tapi baik dan ceria, aku sayang banget ma dia. Sampai ketika naik ke kelas 3, dia harus pindah ke Belgia, karena orang tuanya ditugaskan ke sana. Hubungan kami pun berhenti sampai di situ. Waktu itu rasanya sedih banget, dan sampai lulus SMA aku belum bisa nglupain Melly. Kalo pas aku ketemu dia waktu dia pulang ke Indonesia, aku selalu inget masa-masa kami waktu masih pacaran. Tapi setelah kuliah, aku sadar aku nggak boleh terus-terusan terjebak sama masa laluku, pelan-pelan aku bisa nglupain Melly. Dan sekarang, aku malah sedang jatuh cinta sama seseorang,” Angga bercerita panjang lebar.

Hati Anggrek terasa sakit mendengar pengakuan Angga itu. Barulah dia sadar, dia menyayangi Angga, perasaan yang selama ini dipungkirinya. Hatinya terasa hambar saat mendengar ucapan Angga.

“Emang siapa cewek yang kamu suka itu? Kasih tau donk,” Anggrek mencoba mengorek pengakuan Angga. Angga menggeleng sambil tersenyum.

“Rahasia. Sekarang ini, belum boleh ada yang tau siapa cewek itu. Aku bermaksud nembak dia bulan depan, pas Valentine. Tenang aja, kalo aku jadian, kamu pasti jadi orang pertama yang aku kasih tau,” jawab Angga.

Anggrek tidak ingin hatinya bertambah sesak, maka dia mencoba mencari topik lain.

“Eh, ternyata Bu Sissy tu tante kamu ya?” Anggrek lega karena bisa menemukan topik lain.

“Iya, kok kamu tau? Pasti dia cerita ke kamu ya?” tanya Angga.

“Iya, di latihan kemarin, Bu Sissy banyak cerita tentang kamu.”

“Ah, tante selalu gitu, nggak bisa berhenti kalo udah cerita tentang keluarganya. Jangan sampai deh dia cerita tentang jemuran baju waktu aku umur 5 tahun,” ujar Angga sambil melahap potongan steiknya.

“Eh, apa? Dia nggak cerita tentang itu. Ceritain donk, Ngga…,” rengek Anggrek.

“Ah, nggak. Biar itu jadi rahasia keluarga,” tolak Angga dengan mimik lucu sambil mengangkat tangan, disambut tawa mereka berdua. Begitulah, obrolan siang itu menjadi obrolan menyenangkan bagi mereka. Mereka makin mengnal satu sama lain. Dan menyadarkan Anggrek, cowok yang ada di hadapannya sekarang adalah prince charming-nya.

**

“Duile si Anggrek, lagi jatuh cinta ni yeee….,” goda teman-teman segengnya waktu malam itu mereka berkumpul di kafe langganan mereka. Anggrek memejamkan mata, dengan satu tangan menutup telinga dan tangan lain menepuk dahinya.

“Ssstt, udah donk…! Emangnya aneh ya kalo aku jatuh cinta. Tau gini, aku nggak cerita ma kalian deh,” tukas Anggrek, dengan pipi bersemu merah.

“Ah Anggrek, masak kamu tega nian ma sahabat-sahabatmu ini?” goda Karen.

“Iya ni, waktu kamu nolak cintanya si Jeremy, temen les Inggris kamu yang cakep banget itu, aku kira kamu udah nggak kenal ma yang namanya sense of love. Sekarang ketika akhirnya kamu jatuh cinta lagi setelah sekian lama, kita-kita juga ikut seneng tau!” sambung Cathy.

“Kalo ntar kamu jadian, jangan lupa traktir kami ya! Hahaha, ayo maju terus Ang, jangan ragu-ragu,” timpal Sophie.

“Ih, kamu-kamu kok yakin bener aku bakal jadian ma Dia? Sok yakin bener. Kan tadi aku udah bilang, dia tu udah punya inceran. Tapi yah, it’s ok, kan cinta nggak harus memiliki ya. Paling nggak, aku bisa cerita, sekarang aku lagi suka ma dia,” ujar Anggrek pasrah.

“Non, pernah nggak kamu terpikir bahwa yang Dia cintai itu kamu?” tanya Nining. Sesaat Anggrek terkejut, dan menatap Nining.

“Aku? Mana mungkin… Kan aku baru seminggu kenal ma dia, nggak mungkinlah dia suka ma aku,” jawab Anggrek.

“Yeee, kamu sendiri biar baru seminggu kenal juga udah suka ma dia kan? Udah deh, tunggu aja, Valentine nanti, pasti kamu yang ditembak Dia,” jawab Nining.

“Iya Ang. Sambil nunggu dia, kamu kudu ngasi lampu ijo ke Angga, biar dia nggak ragu nembak kamu. Kalo kamu nggak bisa nunggu, terapin emansipasi, tembak dia duluan,” goda Karen.

“Ah, udah ah. Balik yuk, udah malem ni,” kata Anggrek, mencoba berkelit. Teman-temannya hanya bisa angkat bahu melihat kepasrahan Anggrek.

**

Nggak kerasa Valentine udah datang. Sejauh ini, Anggrek tetap merasa pesimis terhadap Angga. Namun hari ini, malam nanti, Anggrek berencana menyatakan perasaannya ke Angga, sambil ngasih coklat yang sudah dia pesan di toko kue langganannya. Bagi Anggrek, nggak masalah ditolak, yang penting Angga tau perasaannya. Di sekolah, teman-temannya pada berebut ngomongin gebetan masing-masing. Termasuk, empat sahabatnya, yang masing-masing udah punya cowok.

“Tunggu aja, hari ini pasti Angga nembak kamu. Dan besok pagi, kamu bakal teriak-teriak ke kita semua bahwa kamu udah jadian. Ya kan?” kata Cathy.

“Tenang Ang, kita bakal berdoa buat kamu. Ingat kata orang dulu, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” sambung Karen. Semua teman segengnya bergantian menyemangati dia.

Thanks banget ya temen-temen,” hanya itu yang keluar dari mulut Anggrek setelah turun dari mobil antar jemput sekolah.

**

”Ang, bangun! Ada yang mau mama bilang ke kamu,” terdengar suara lembut mama Anggrek. Ketika membuka mata, Anggrek melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah cemas, dikelilingi beberapa polisi. Dengan mata setengah terpejam, Anggrek melihat arlojinya menunjukkan pukul 19.00. “Oya, tadi sore aku tertidur waktu nonton TV,” batin Anggrek.

“Ada apa, Ma?” tanya Anggrek. Seorang polisi menghampirinya.

“Anggrek, apa kamu kenal dengan pria bernama Bagus Anggara Mukti?” tanya polisi itu dengan sopan. Mendengar nama Angga, mata Anggrek langsung terbelalak. Kantuknya pergi entah ke mana.

“Iya Pak, itu teman saya. Memangnya ada apa dengan dia, Pak?” tanya Anggrek panik. Meski sekilas, Anggrek sempat menangkap raut kesedihan dan iba di mata polisi itu. Anggrek tambah panik.

“Tolong, beri tau saya, ada apa?” Anggrek menuntut penjelasan ke semua orang yang ada di situ. Dilihatnya mama menahan air mata di kelopak matanya.

“Bu, kami rasa Ibu lebih bisa menjelaskan semua ini ke putri Ibu. Tolong Bu, kami mohon bantuannya,” ujar polisi tadi kepada mama, kemudian polisi-polisi itu keluar kamar.

“Pa, Ma, ada apa sih?” tanya Anggrek lagi. Papa dan mama duduk di sisinya.

“Sebelumnya, papa minta kamu tenang dulu,” kata papa. Kemudian papa dan mama terdiam sebentar.

“Sayang, Angga…Angga… dia sudah meninggal,” kata mama pelan. Anggrek tidak tau harus berkata apa. Dia terdiam sebentar sambil akhirnya tertawa getir.

“Nggak Ma, nggak mungkin Angga meninggal. Pa, Mama bercanda kan? Dia…dia…,” Anggrek tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Tangisnya langsung meledak. Melihat Anggrek seperti itu, papa dan mamanya menggeleng putus asa. papanya terlihat sangat cemas, sementara mamanya mulai menangis.

“Anggrek sayang, itu kenyataannya. Angga meninggal karena kecelakaan mobil pukul 18.05 tadi. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi dia hanya bisa bertahan selama 15 menit. Dia sempat menitipkan ini untuk kamu,” ujar papa pelan sambil menyerahkan sebuah kaset handycam pada Anggrek.

“Kata temannya yang diketahui baru dikunjungi sebelum dia kecelakaan, Angga berkata bahwa dia ingin menyampaikan perasaannya lewat kaset ini,” sambung mama. Dengan kepala pusing dan bersimbah air mata, Anggrek mencoba mencerna semua yang telah diucapkan papa dan mamanya. Dia menyetel kaset itu. Tampak wajah Angga, duduk di tepi kolam renang apartemen.

“Hai, Ang. Aku nggak mau ngomong panjang lebar di sini. Aku cuma mau ngomong, aku sayang kamu. Yang selama ini jadi incaranku itu kamu. Sejak kita ngobrol di tempat ice skating, aku udah respek sama kamu. Dan waktu kita makan steik bareng, saat itu aku sadar, aku sayaaang banget sama kamu. Sorry, aku hanya bisa ngucapin ini. Mungkin kamu nganggap aku nggak gentle, karena nyatain perasaan lewat kaset. Tapi inilah caraku untuk nunjukkin perasaanku ke kamu. Aku nggak mau maksa kamu, apapun jawabanmu akan aku terima. Aku cuma pengen kamu tau, bahwa selama ini Angga sayang sama kamu,” demikian yang diucapkan Angga dalam kaset itu. Mengetahui semua ini membuat hati Anggrek makin pedih. Wajah dan senyum Angga yang baru dilihatnya, membuat tangisnya makin menjadi.

“Angga, selama ini aku juga sayang sama kamu, aku sayang kamu, Ngga…” bisik Anggrek di sela tangisnya. Dalam pelukan papanya dan belaian mamanya, Anggrek menumpahkan segala tangis dan kesedihannya.

**

Minggu pagi pukul 10.00. Anggrek berdiri diam di samping pusara Angga. Sementara satu persatu orang yang hadir di pemakaman mohon pamit, menyalami keluarga Angga.

“Kenapa harus begini, Ngga? Kenapa?” bisik Anggrek sambil berlutut di samping pusara Angga. Dilihatnya papa dan mama sedang mengobrol dengan orang tua Angga. Di wajah mereka terlihat jelas raut sedih dan iba. Bu Sissy mendekati dan merangkul pundak Anggrek.

“Kamu tau, apa yang dilakukan Angga sebelum menghembuskan napas terakhirnya?” tanya Bu Sissy dengan sabar. Anggrek menggeleng.

“Yang saya tau, sebelum meninggal, dia menitipkan pesan untuk saya,” jawab Anggrek lirih. Bu Sissy tersenyum lembut.

“Dia tersenyum, Ang.” Anggrek mendongak, menatap wajah Bu Sissy dengan tak percaya. Terbayang olehnya wajah Angga yang bersimbah darah dan menahan sakit, tersenyum? “Setelah menitipkan pesan untukmu, Angga tersenyum, kemudian menutup matanya. Itulah senyum termanis Angga yang pernah Ibu lihat, senyumnya menunjukkan kesungguhan, seakan ingin menabahkan kita yang ditinggalkan. Dan Ibu yakin, kamu yang membuatnya tersenyum di saat-saat terakhirnya. Wajahnya damai sekali.” kata Bu Sissy sambil berusaha menahan tangis. “Jangan pernah kecewakan senyumnya, Ang,” lanjut Bu Sissy sambil menepuk bahu Anggrek dan berjalan menjauh. Anggrek menatap pusara Angga, kemudian tersenyum.

“Terima kasih untuk semuanya, Ngga. Berjanjilah, setiap mentari terbit, kamu akan memberikan senyuman termanis untukku, tersenyumlah dari surga,” ujar Anggrek tercekat. Kemudian Anggrek memandang langit, tersenyum lembut. “Senyummu memberiku semangat untuk menatap masa depan. Aku berjanji, akan tetap menyimpan namamu di hatiku sambil tetap menyongsong masa depanku sebaik-baiknya. Selamat jalan, Angga,” ujar Anggrek dalam hati masih dengan senyum termanisnya.

****

Tidak ada komentar: