27 Desember 2007

MAAFKAN AKU CHIKA

Bel jam masuk berdering. Chika bergegas menuju ke kelasnya yang terletak di ujung koridor. Ya, hari Senin adalah hari yang sangat dibenci oleh anak-anak SMA Nostradamus, termasuk Chika, gadis manis yang sangat “digemari” oleh segala macam tipe cowok. Mulai dari yang culun, romantis, sok puitis, narsis, bahkan hingga yang reformis. Sudah banyak cowok yang menyatakan cinta dengan berbagai cara, tetapi dengan sigap, Chika menangkis semua panah-panah asmara yang menuju kepadanya.
Pada jam pertama ini, Matematika akan mengawali penderitaan panjang para murid di hari Senin. Guru killer asli negara tetangga kita, China, yang bernama Ju Xing, memasuki kelas Chika dengan langkah santai tetapi mampu membuat kaki meja dan kaki murid-murid bergetar kencang bak vibrator.
”Selamat pagi anak-anak! Bagaimana? Soal-soal latihan 600 nomor yang saya berikan minggu lalu sudah selesai bukan?” sapa Pak Ju Xing mengawali pertemuan “indah” di pagi itu.
“Sudaahh Paakk!!!” teriak seluruh murid kompak.
“Baik. Hari ini Bapak punya kabar gembira,” kata Pak Ju Xing dengan muka yang sangat kusut, “Kalian akan mendapat teman baru. Dia pindahan dari Bogor,” lanjut beliau.
“Indra, silakan masuk,” panggil Pak Ju Xing pada sosok pria jangkung di luar kelas, “perkenalkan dirimu di depan kelas.”
Cowok bernama Indra berjalan perlahan menuju ke depan kelas. Tingginya sekitar 180cm, badannya juga cukup berisi. Wajahnya lumayan cakep, hanya sayang, air mukanya tampak selalu dingin. Seragam OSISnya sengaja dikeluarkan, menambah kesan keren pada dirinya. Chika yang biasanya anti melirik cowok pun terpana ketika Indra memasuki kelas.
“Hai. Gue Indra,” katanya memperkenalkan diri.
“Hai juga Indra! Udah punya cewek belum? Aku mau kok jadi cewekmu!” seru Ratna genit.
“Hiih, dasar kegatelan! Mendingan juga gue daripada elo!” sahut Mesty.
“Eh..eh..ehh, yang ada juga mendingan gue dong!” timpal Rani tak mau kalah.
“DIIIAAAAAAM!!!” bentak Pak Ju Xing, “kita mulai pelajarannya sekarang. Indra, silakan duduk di sebelah Chika.”
Indra pun duduk di sebelah Chika. Chika sedikit salah tingkah ketika Indra duduk di sebelahnya. Mereka pun berkenalan. Ketika pelajaran dimulai, mereka bukannya memperhatikan Pak Ju Xing, tetapi malah asik bercerita tentang sekolah asal Indra. Chika pun juga bercerita tentang keadaan di SMA Nostradamus. Walaupun tampangnya dingin, tetapi sebenarnya Indra cukup mengasyikkan ketika diajak ngobrol. Chika pun semakin tertarik pada Indra.
“Eh, kita ke kantin bareng yuk,” ajak Indra ketika bel istirahat berbunyi.
“Aku udah janjian mau ke kantin sama temen-temen sih. Mmm..gimana kalo kamu gabung sama temen-temenku aja?” tawar Chika.
“Gitu juga boleh deh. Sekarang kan?” sahut Indra.
“Nggak! Tahun depan aja! Ya sekarang lah,” balas Chika sambil tertawa terbahak-bahak.
Hari itu, Indra pun makan di kantin bersama Chika dan teman-temannya. Demikian pula hari-hari selanjutnya hingga tak terasa mereka pun menjadi semakin akrab. Indra sering mengantar Chika pulang, Chika pun selalu mengajak Indra bila dia ingin ke toko buku atau sedang mencari bahan tugas sekolah. Banyak cowok yang iri melihat keakraban mereka.
“Gila! Apa sih yang diliat sama Chika? Tu anak baru perasaan tampangnya juga biasa-biasa aja. Tapi kenapa bisa bikin Si Chika kepincut gitu ya?” tukas Rainbow, cowok paling ganteng dan keren di sekolah.
Ya, memang banyak pria tampan yang dibuat patah hati sejak kedatangan Indra ke sekolah itu. Padahal Indra selalu bersikap biasa, nggak pernah ada maksud untuk tepe-tepe alias tebar pesona. Mungkin sikap cool-nya itulah yang mampu membuat Chika kelepek-kelepek.
Dua bulan kemudian, mereka berdua semakin akrab, bahkan bisa dibilang mesra. Dimana ada Chika, selalu ada Indra. Namun, mereka masih tetap bersahabat hingga akhirnya pada suatu sore sehabis Chika selesai latihan basket, Indra mengajak Chika ke suatu tempat di daerah Bogor. Di sana mereka berdua dapat melihat bintang-bintang di langit dengan jelas sekaligus melihat pemandangan kota yang bertaburan lampu.
“Ini namanya Bukit Bintang. Di sini kita bisa ngliat bintang-bintang di langit. Asal nggak hujan lho,” kata Indra sembari bercanda.
“Wah, keren banget Ndra!” seru Chika takjub.
“Iya. Aku sendiri yang menamai bukit ini. Aku waktu kecil sering main disini. Soalnya rumahku nggak jauh dari sini sih,” tambah Indra menjelaskan.
“Masa sih? Keren banget!” seru Chika masih dengan nada tak percaya. “Tapi ngeri. Di bawah jurangnya dalem banget,” lanjutnya.
“Nggak usah takut. Kan ada aku disini. Nggak mungkin lah, aku biarin kamu jatuh ke bawah,” sahut Indra menenangkan.
“Oh iya, aku mau bilang sesuatu,” kata Indra lagi, “Sebenernya sejak awal kita kenalan, aku udah ngrasa suka sama kamu. Dan sekarang rasa itu udah berubah jadi sayang. Mmm... kamu mau jadi pacarku nggak?”
Chika bena-benar kaget. Dia sama sekali tidak menyangka, Indra akan menyatakan cintanya secepat itu. Dia sebenarnya masih ingin berteman dengan Indra untuk beberapa waktu lagi. Memang dia merasa sayang pada Indra, tapi dua bulan dirasanya terlalu cepat untuk menjalin kisah cinta mereka. Di satu sisi Chika ingin memiliki Indra, namun di sisi lain Chika belum siap berpacaran dengan Indra.
“Mmm... Gimana ya Ndra? Kayaknya nggak bisa jawab sekarang deh,” jawab Chika gugup, takut jika Indra akan marah.
“Kenapa Chika? Aku kan sayang banget sama kamu,” ucap Indra lirih tapi penuh harap.
“Bukan masalah itu Ndra. Aku juga sebenernya sayang sama kamu. Tapi kita baru kenal dua bulan, dan aku belum cukup mengenal kamu. Aku nggak mau tergesa-gesa pacaran, aku nggak mau pacaran kalo akhirnya cuma tahan bentar,” jelas Chika.
“Kamu nggak percaya sama aku? Aku bener-bener sayang kamu Chika. Aku akan selalu jagain kamu, aku akan selalu setia sama kamu. Please Chika!” pinta Indra memelas.
“Aku percaya kok. Tapi tolong, kasi aku waktu sebulan sampai dua bulan lagi biar aku bisa lebih ngerti kamu,” Chika berusaha menolak sehalus mungkin.
“Tapi Chika......”
Kata-kata Indra terhenti. Suasana menjadi benar-benar hening. Chika bertambah takut. Insting kekanak-kanakannya mengisyaratkan Indra akan marah besar dan mencelakai dirinya. Bersamaan dengan itu, Indra juga mulai melangkah mendekati Chika dengan langkah gontai. Chika semakin takut, jantungnya berdegup sangat kencang hingga dadanya sesak, kakinya pun gemetaran tak terkendali. Dia ingin sekali berteriak meminta pertolongan. Badan Indra sudah hampir menempel ke tubuh mungil Chika, wajahnya pun sudah semakin dekat hingga Chika bisa merasakan deru hembusan nafas Indra. Dan ketika mulutnya terbuka hendak mengeluarkan suara, dia tercengang. Mata Indra memerah dan berair. Beberapa tetes diantaranya mengalir pelan di pipinya. Tak lama kemudian, terdengar suara isakan. Ya, Indra menangis, dia lalu menyandakan kepalanya ke bahu Chika. Chika terheran-heran, kemudian tersenyum geli karena semula dia mengira Indra akan murka. Chika kemudian mengelus kepala Indra mencoba menenangkan cowok itu.
“Kamu kenapa Ndra? Kok tiba-tiba nangis gini?” tanya Chika halus.
“Aku teringat lagi sama cewek yang aku sayang dulu. Aku sayang banget sama dia, tapi dia nggak suka aku dan pergi ninggalin aku,” jawab Indra masih sesenggukan.
“Ssstt... Udah Ndra, nggak usah diinget-inget terus. Memangnya cewek itu pergi kemana? Lagian aku nggak akan ninggalin kamu kan. Kita kan satu sekolah,” desah Chika perlahan.
“Nggak mungkin! Kamu juga akan ninggalin aku. Disini, di tempat ini, di tempat yang sama sewaktu Rissa ninggalin aku,” jawab Indra dengan nada suara yang semakin meninggi.
“Hah? Nggak Ndra, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji mau jadi pacarmu, tapi nggak sekarang. Jawab dulu dong pertanyaanku yang tadi, dia emang pergi kemana?” Chika kembali bertanya.
“Ke dasar jurang itu,” jawab Indra dingin sembari tangannya mendorong badan Chika ke jurang di depannya.
“Aaaaaaaaa........!!” jerit Chika ketika badannya melayang di kegelapan malam. Suaranya bergema di jurang itu hingga akhirnya terhenti ketika tubuh Chika menghantam dasar jurang.
“Maafkan aku Chika. Aku sayang kamu, tapi kamu nggak mau menerima cintaku. Aku terpaksa mengantar kamu ke tempat Rissa yang juga menolak cintaku. Selamat menanti di dasar gelap itu,” kata Indra lebih dingin dari sebelumnya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan Bukit Bintang tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Tak pernah ada yang mengetahui berita kematian Rissa dan Chika. Hilangnya mereka pun meninggalkan misteri bagi orang-orang yang ditinggalkan. Tubuh mereka yang belum ditemukan tersebut masih bertahan di dasar jurang yang gelap, menanti Indra kembali datang dan menyatakan cinta kembali.

Tidak ada komentar: